Ellis Park dan kenangan di balik pembebasan

3 1 1
                                    


Ellis Park bukan sekedar stadium rugby bagiku. Stadium ini sejarah. Ketika aku berusia 9 tahun. Ayahku membawaku ke stadium ini. Ketika itu dia sengaja membangunkanku dari tidur siang supaya bisa menemaninya menonton pertandingan final piala dunia rugby.

Ayah adalah penggemar berat Springboks, nama tim nasional rugby Afrika selatan. Dia sangat bergairah saat final. Aku dengar dari ibu kalau ayah tak berhenti membicarakan final sejak kemenangan springboks di Durban. Aku menonton TV bersama ayah saat semifinal itu. Kami berdua memakai baju Hijau kerah kuning. Aku dengar ayah rela tidak membeli celana baru karna ingin membelikan aku baju springboks. Jadilah kami berdua menonton TV. Ibu hanya melihat dengan heran. Kemana kegadisanku?

Setelah memasangkanku baju springboks. Dia menggendongku ke mobil. Ibu cemas samaku karna aku akan dikelilingi banyak lelaki disana dan mereka semua besar-besar. Ibu sangat tidak suka acara olahraga. Dia dirumah seharian memasak dan menyiapkan rumah. Menurutku itu membosankan.

Aku besar bersama ayah. Aku ikuti semua hobi ayahku. Mulai dari memancing, mendaki gunung, bahkan otomotif. Satu hal yang ayah sangat cintai, itu pasti rugby. Ia punya semua baju asli Springboks. Karna aku satu-satunya anak saat itu. Maka ayah mengajarkan semua hobinya kepadaku. Sialnya aku menyerap semuanya bagai kain pel. Jadilah aku anak papa tulen. Setelah itu Kevin datang ke kehidupanku. Ibu semakin tersisih di rumah.

Ayah berteriak dan bernyanyi sepanjang jalan. Suporter springboks pasti hapal lagu itu. Aku pun hapal semua apa yang dinyanyikan ayah. Kami kemudian meninggalkan mobil.

Saat mau masuk ke stadium. Ayah membayar 5 rand untuk seseorang mencoret bendera Afrika Selatan yang baru. Beberapa hari setelah itu ibu marah-marah karna wajahku memerah. Ia membeli bendera baru tersebut. Dia sangat bersemangat sekali. Aku melihat ia terus berteriak bagai riuh. Dan aku juga terbawa semangatnya. Ia membelikanku coke. Kami kemudian duduk dengan seksama.

Aku baru duduk ketika sebuah pesawat mendekat dan getaranya terasa. Tahun itu 1995, seorang pilot melakukan itu. Dibawah pesawat boing 747 itu tertulis "good luck bokke". Seisi Ellis Park kemudian bergolak, berteriak sebisa mereka. Suasana sangat riuh saat itu. Setelah berteriak sampai suaranya habis, ayah baru menggerutu " Kurasa pilot tersebut terlalu banyak minum Champagne, dia tau karirnya bakal berakhir setelah itu. "

Presiden Mandela masuk ke stadium dengan semangat. Dia memakai baju yang aku pakai bersama ayah. Tambahan nomor 10. Nomor punggung Francois Pienarr. Kapten Springboks.

Kemudian semua bersiap. Kami semua tegak dan siap menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing. Lagu itu baru beberapa bulan ditetapkan sebagai lagu nasional baru Afrika Selatan. N'kozi Sikele'i Afrika. Ayah tentu saja belum hapal. Dia diam dengan tangan di dada. Aku hanya diam. Setelah itu lagu kebangsaan yang kami kenal dilantunkan dan ayah sedikit bergumam.

Aku melihat pertandingan dengan semangat. Berteriak girang dengan lagu-lagu familiar bagi penggemar springboks. Bokke adalah nama lain springboks. Keduanya adalah nama rusa khas Afrika Selatan. Kedua tercepat setelah cheetah. Orang pribumi afrika memanggil dengan nama bokkè. Jadi begitulah nama tim nasional rugby Afrika Selatan.

Semua cemas. Saat peluit panjang berbunyi. Skor seri 12-12. Lawan kami adalah tim yang sangat tangguh. New Zealand adalah favorit juara. Semua terlihat tegang. Kemudian menjelang akhir. Seseorang melempar bola ke Joel Stransky. Joel menendang bola itu dengan keras dan tepat berada di tengah. Angka Bagi Afrika Selatan. Seisi stadium bersorak. Afrika Selatan selangkah lagi memenangkan piala dunia.

Jangan tanya anak kecil mana yang paling tinggi meloncat saat drop kick itu berbuah 3 angka bagi Springboks. Anna Reiner Clattenburg adalah anaknya.

Peluit tanda berakhirnya pertandingan berbunyi dan seisi stadium terlihat berbahagia. Pertama kalinya dalam sejarah. Anak-anak berkulit gelap dan anak berkulit terang saling berangkulan dan berpesta ria di seantero jalanan Johannesburg. Saat itu kami semua sadar. Segregasi dan permusuhan lama antara Afrikaner sepertiku Yang berkulit terang dengan penduduk asli Afrika Selatan yang berkulit gelap telah sirna. Ditandai dengan President Mandela yang berkulit gelap memberi piala tanda kemenangan piala dunia rugby ke Francois Pienar kapten tim nasional rugby Afrika Selatan yang berkulit terang.

Ayahku ikut berpesta. Dia membeli beer dari toko dan mulai bernyanyi. Dia berkeliling beberapa kali dengan girangnya. Setelah lelah dan sepi, dia membawaku pulang.

Di rumah ibu memarahinya karna mabuk di depan anak kecilnya.

"Joseph Clattenburg, sudah berapa kali ku bilang kalau kau tidak boleh mabuk di depan anak gadismu ini. "

Ayah hanya diam karna dia belum berpikir jernih. Belum lagi masalah bendera di wajah yang bikin wajahku memerah dan berjerawat.

Itulah kenangan kenapa aku begitu menyukai Ellis Park. Aku dan Johannesburg adalah kesatuan. Danny memahami itu. Sedetikpun dalam hidupku, aku tak pernah meninggalkan Afrika Selatan dan 99% hidupku ku jalankan disini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Tale about SpaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang