Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke- 10. Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.
***
Bocah itu berlari sekuat tenaga. Langkah kecilnya berusaha menembus kerumunan manusia. Berhimpitan, menabrak, hingga sesekali terjatuh. Semua itu tidak menghentikan kaki Damna untuk pergi ke pusat perkampungan.
Adalah pertunjukan drama musikal yang menjadi magnet untuk menarik Damna hadir setiap minggunya. Sebagai satu - satunya hiburan yang membuatnya terbebas dari rutinitas yang membosankan.
Pertunjukan itu selalu menceritakan kisah manusia, naga ataupun raksasa.
Dua minggu lalu adalah kisah tentang manusia sebagai ras yang paling bijaksana dan benar dalam membuat keputusan.
Satu minggu lalu adalah kisah tentang para naga yang turun dari langit untuk membasmi para pendosa di muka bumi.
Lalu yang sedang disaksikan oleh Damna saat ini adalah kisah tentang para raksasa yang menghancurkan setiap perkampungan manusia yang disinggahinya. Maka tidak heran jika kebencian orang - orang dewasa terlihat jelas dari teriakan mereka saat menyaksikan pertunjukan hari ini.
"Bunuh raksasa itu!"
"Penggal kepala bodat itu!"
"Jangan beri ampun! Balaskan dendam nenek moyang kita!"
Bahkan bagi bocah umur 14 tahun seperti Damna, merasa ngeri saat mendengarkan kalimat kutukan yang saling bersahutan. Ia terpaksa menutup telinga setiap kali mendengarnya.
Pertunjukan hari ini berakhir dengan meninggalkan tanda tanya di kepala Damna. Lagi - lagi, ia masih kurang yakin dengan tindakan buruk para raksasa yang ada di dalam kisah tersebut. Hanya ras raksasa saja yang selalu dimurkai oleh seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan ras naga ataupun penyihir yang selalu dipuja dan diagungkan.
Setelah pergi dari pusat perkampungan, Damna sekali lagi menemui Kakek Gruben. Sosok tua bangka dan paling mengetahui kebenaran sejarah. Setiap kali ada pertanyaan di dalam kepala sang bocah, dia pasti akan berlari ke rumah reot lelaki kempot ini.
"Kakek Gruben, apakah tidak ada raksasa yang baik di luar sana?" tanya Damna, mata polosnya diselimuti keingintahuan.
Kakek Gruben mengelus kepala Damna. Lalu mendudukkannya pada sebuah kursi di teras rumahnya. Kakek Gruben duduk juga di kursi sebelahnya.
"Kakek sendiri tidak tahu apakah ada raksasa yang memiliki kebaikan seperti kita di luar sana. Karena setiap kali ada raksasa yang menghampiri kampung kita ini, getaran kakinya saja sudah cukup mengambrukkan rumah kakek. Belum lagi raungannya yang membuat binatang ternak lari ketakutan."
"Tapi, kan ... para raksasa belum pernah memakan manusia, Kek," sela Damna.
"Mereka memang tidak pernah memakan manusia. Tetapi, mereka sering merusak perkampungan manusia, membunuh manusia, dan menjadikan kita sebagai binatang ternaknya."
Kelembutan pada sorot mata Kakek Gruben lenyap seketika. Disertai gemeretak gigi yang memantik kobaran dendam dan amarah.
Damna hanya bisa menahan napas dari rasa takut yang menyergapnya tiba - tiba. Hingga raut wajah Kakek Gruben kembali menjadi ramah nan jenaka.
"Maaf ya, Damna. Kakek malah membuatmu tidak nyaman." Kakek Gruben mengeluarkan sebuah manisan dari saku lusuhnya. "Ini permen untuk Damna."
Perhatian Damna teralih begitu saja pada manisan yang berkilau di genggaman Kakek Gruben. Ia langsung menerimanya tanpa banyak tanya.Wajah bahagia Damna mengundang senyuman di bibir lelaki renta tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
LCDP X - Giant & Damna
FantasyKisah pertemuan seorang bocah yang ingin berteman dengan raksasa dan seorang raksasa yang ingin pulang ke rumahnya. Keduanya bertemu dalam dunia yang penuh stigma kebencian pada ras raksasa.