How This Story Will Begin

194 19 12
                                    


Sudah dua bulan Jaemin hanya menghabiskan waktunya didekat pelataran gereja tua di tepian gang sempit itu. Tepatnya pada sebuah warung kopi minimalis milik salah seorang petugas kebersihan gereja. Jaemin mengenalnya dengan baik, pria separuh baya itu adalah pamannya.

Seperti biasa, menjelang waktu sore ayam-ayam ternak mulai berkelana. Memenuhi jalan setapak, membuat panik para pengendara motor yang lewat, bahkan juga tidak jarang membuang kotoran di sembarang tempat. Tapi bagi penduduk sekitarnya, hal ini sudah dianggap lumrah. Begitupula bagi Jaemin dan paman energik nya.

Seorang pria berambut gondrong dengan kelir putih nyaris sempurna datang dari balik tirai toska yang membatasi antara dapur dan ruang tunggu warung kopi itu. Menenteng senampan kopi dan piring yang baru saja dicuci seraya melempar tawa kearah pemuda yang duduk diam dibawah kanopi usang diteras luar.

Tatapannya kosong, menyorot tajam pada seekor ayam jantan yang sedang sibuk mengais tanah dengan kaki-kakinya. Seolah tabiat hewan itu memiliki filosofi tersendiri bagi ia pribadi.

Mendadak tepukan tegas mendarat pada bahu Jaemin. Meski terkejut, tetap tak ada reaksi apapun. Ia terlalu fokus pada isi pikirannya.

Tidak mendapat jawaban, pria tua itu menarik kursi kayu setengah meter disamping Jaemin dan kemudian duduk diatasnya. Sejenak ia menghembuskan napas letih, lalu melepaskan celemek kotornya yang sudah ia kenakan untuk berkerja seharian tadi.

Tidak ada perbincangan apapun selama sepuluh menit kedepannya. Mereka berdua hanya sama bisu memandangi nuansa warna jingga menyembur halus pada jalanan yang belum teraspal. Telinga mereka dimanjakan oleh jeritan anak-anak kecil ketika satu dan yang lain saling mengejar, erangan kucing saat merasa terancam, seruan ayam yang memanggil saudaranya untuk pulang serta kicauan burung penanda senja akan segera datang. Begitu indah dan menenangkan.

Sejurus kemudian, suara khas milik motor terdengar nyaring dari balik persimpangan jalan. Hingga kemudian tampak seorang pemuda lain berambut tak kalah nyentrik dari paman Matthew datang mengendarai motor Vespa tahun 80'an. Memasuki pekarangan warung, dan memarkirkan motornya dengan tertib.

Berkatnya, perhatian Jaemin sukses teralihkan.

Lelaki itu membiarkan helm bogo dengan warna yang selaras dengan Vespanya tetap berada di kepala. Memberi sapaan pada ayahnya, kemudian memekik keberadaan Jaemin.

"Aih, Jaemin? Ada masalah apa lagi, bro?" Tanyanya.

Jaemin menggeleng. Buru-buru ia beranjak dari duduknya. Menyambar kemeja kotak-kotak yang tersampir di pagar kayu, kemudian mengenakannya.

"Pulang dulu bang, om." Begitulah ucapan yang pertama kali keluar dari mulut Jaemin setelah duduk diam berjam-jam disana.

Tanpa menunggu jawaban dari kedua oknum yang ia ajak bicara, Jaemin langsung melangkah pergi. Namun, bukan Hangyul namanya jika tidak menanyakan semuanya secara detail.

"Eh tunggu."

Jaemin memutar tubuhnya menghadap anak semata wayang paman Matthew itu.

"Mau sampe kapan lo biarin cafe nya di handle Hyunjin?"

Perihal itu, sudah banyak orang yang menanyakannya. Entahlah, Jaemin tidak punya alasan pasti. Meski demikian, rasa sakit bila mengilas balik kenangannya dengan cafe itu terasa masih segar. Jaemin tak sanggup menahannya, ia butuh waktu panjang untuk menetralisir perasaannya.

"Apa masih soal Heejin?" Timpa Hangyul diatas pertanyaan sebelumnya. Dan yang kali ini tak kalah pedih.

Daun telinga Jaemin bersemu merah. Entah kesal, atau ia benar-benar marah. Berkaitan dengan gadis itu, Jaemin bersumpah akan mengutuk dirinya sendiri sampai mati jika mereka masih tak dapat bertemu.

Sungguh, yang ia inginkan hanyalah meminta maaf. Meminta maaf atas kebodohannya di masa lalu.

"Gyul, udah jangan ditanyain mulu. Nih anak lagi galau lo sembur aje." Paman Matthew angkat bicara. Sedang Hangyul hanya tertawa renyah lantas meminta maaf kepada Jaemin sebelum pemuda itu sempat menjawab pertanyaannya.

Tapi setidaknya dengan begini, Jaemin bisa pulang lebih cepat.

[Phathetic Affections]

Langit kota semakin gelap, lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Hari ini hari sabtu, lebih tepatnya malam minggu, jalanan jelas kalang kabut padatnya.


Dipenghujung gemerlap jalan, Jaemin melayangkan pikirannya. Melangkah jauh pada memori empat tahun lalu. Masa-masa terindah dalam fase hidupnya. Ketika ia berbagi tawa dengan seorang gadis cantik dibawah atap sekolah.

Jaemin rindu sosok itu.

Sangat rindu.








TIIIN!

Sebuah mobil didepan sana menekan klaksonnya dengan nyaring, Mendadak semua kendaraan terhenti, Jaemin nyaris saja menabrak pembatas jalan jika ia sedetik saja terlambat menekan pedal remnya.

Baru saja terjadi kecelakaan.

Cukup parah sampai polisi setempat harus turun tangan menangani beberapa korban.

Sebetulnya Jaemin ingin acuh dan melajukan motornya secepat mungkin dari kerumunan jika saja bukan sosok seorang gadis yang sedang terlentang berlumuran darah itu yang tertangkap oleh dua manik matanya.






"Heejin?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pathetic AffectionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang