Chapter 4

16 1 1
                                    


Happy readingggg UwU

Enjoy!












Laville merenggangkan tubuhnya. Sudah berapa lama dia duduk membaca data pasien-pasiennya? Ah, pokoknya sudah lama, pantatnya sekarang sakit.

Laville menekan interkom di meja. “Sus, tolong buatkan saya susu panas.”

Asistennya di luar menanggapi, “Kadar kemanisan?

“Sedang. Dan, bawakan juga cemilan rendah gula.”

Baik.”

Walau sekarang tubuhnya tak gendut dan berotot, Laville membatasi konsumsi gula pada tubuhnya. Ya, demi kesehatan juga. Padahal dia paling suka yang manis-manis. Seperti Nancy, HEHEH.

Pintunya di ketuk.

“Ya, masuk.”

Asistennya masuk dengan nampan. Asistennya meletakkan segelas susu dan setoples biskuit coklat pahit di meja.

Laville mengambil satu dan menggigit nya. Dia membuka komputer dan membalas email-email dari teman-temannya saat di luar negeri dulu.

Airi, asisten Laville, memeluk nampan dan menonton aksi Laville yang sangaddd tampan nan rupawan. Berpikir, dia itu cantik, dia seksi, dia juga pintar. Tapi, kenapa Laville tak tertarik padanya? KE-NA-PA?!

Setahu Airi, Laville itu tak dekat dengan gadis manapun. Dia juga tidak sedang gagal move on dari mantan––karena story Laville masih bersih alias belum pernah menjalin hubungan.

Apa jangan-jangan Laville itu gay?! Zaman sekarang yang ganteng nya gak ngotak menyukai yang ganteng lagi (´⊙ω⊙')!

Tidak! Tidak! Airi menggelengkan kepala. Walau opsi itu menggodanya. Tapi, Laville itu masih lurus. Mungkin doi belum berniat menjalin hubungan saja.

Laville menekan enter, mengirim e-mail, dan menelan biskuitnya, lalu menoleh.

“Sus, anda masih di sini?” tanyanya. Baru menyadari bahwa Airi masih di ruangannya.

Airi tersadar. “Barang kali dokter butuh sesuatu yang lain.” Hati saya misalnya, dok.

Laville menggeleng. “Tidak, anda boleh keluar dan melanjutkan pekerjaan.”

“Ah. Kalau begitu saya permisi.”

Ruangan kembali sunyi.

Laville bersandar pada kursi sambil memeluk toples biskuit. Pipinya mengembung seperti hamster. Tingkah lakunya ini sangat imut!

Laville mengambil ponselnya di meja. Dia tak terlalu aktif di sosmed. Instagram dia gunakan untuk stalk Nancy. Saat ini aman. Bisa sweatdrop Laville kalau melihat Nancy posting foto dengan pria asing.

Salah satu postingan akun verifikasi di beranda menarik perhatiannya.

'REUNI SEKOLAH DASAR XXX ANGKATAN TAHUN 20XX PADA TANGGAL XX BULAN XX'

“Sekolah mengadakan reuni?” Laville menerjap-nerjap. Tak ada yang memberi tahunya. Lagi pula 'mereka' tak mempunyai kontak Laville dan siapa juga yang mau mengundang si kudanil datang.

Laville membaca informasi nya dengan teliti. Masih ada sebulan lagi. Laville manggut-manggut.

Dia menekan interkom. “Sus, kosongkan jadwal saya pada tanggal xx bulan depan.”

Baik, dok.”

Ah, apa Nancy juga akan pergi? Hm. Tentu saja. Dia pasti yang paling menarik perhatian di pesta reuni.

Laville sudah menunggu-nunggu waktu ini. Setelah dirinya memenuhi semua permintaan Nancy. Laville bingung, dengan cara apa dia muncul di depan Nancy. Mungkin di pesta reuni ini adalah waktu yang tepat. Ah, Laville sudah tak sabar~

Laville mengambil bingkai foto di mejanya. Foto seorang gadis kecil tersenyum lebar pada kamera, tangan gadis itu memegang iguana. Iguana yang meronta kabur.

Laville mencium foto tersebut dan berbisik, “This time to make you mine, Nan~cyyy!”

Lalu Laville terkekeh sendiri.

🍓🍓🍓

Siang itu, Nancy, Kahli, dan beberapa anak sastra sedang berkumpul di perpustakaan. Mereka tidak sedang belajar, melainkan membaca buku dan mereviewnya.

Itu sudah menjadi kebiasaan anak sastra. Setiap hari di jam terakhir mereka pasti berkumpul untuk menilai sebuah buku.

“Menurutku, buku ini bagus. Sayang sekali gaya penulisan sang penulis tidak cocok untuk buku dewasa seperti ini,” kata Nancy sambil memegang buku catatannya.

“Ya, aku setuju dengan Nancy.”

“Aku juga.”

“Aku juga.”

Salah satu teman prianya mengangguk, dia yang menyuruh teman-temannya ini untuk menilai buku yang di pegangnya. “Memang betul. Buku ini cocok dengan kata-kata penuh sastra. Penulis menggunakan kata-kata untuk cerita remaja untuk cerita dewasa seperti ini. Memang tidak cocok.”

“Tapi, kelebihannya, bagi orang yang tak menyukai bacaan berat. Ini buku yang tepat,” kata Kahli.

Nancy mengangguk. “Setiap buku pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.” Tiba-tiba ponselnya berdering. “Tunggu sebentar.” Nancy pergi menjauh.

Teman-temannya mengerti, itu pasti telpon dari penerbit. Akhir-akhir ini telepon Nancy sering berdering. Saat magang dulu Nancy bekerja di salah satu perusahaan penerbit, sebagai editor. Karena pekerjaan Nancy cepat dan teliti, perusahaan langsung menawarkan kontrak.

Nancy langsung setuju. Anak bodoh mana yang akan menolak? Itu adalah perusahaan penerbitan besar! Banyak buku-buku dari penulis terkenal di cetak di sana!

Beberapa saat kemudian Nancy kembali. Tersenyum lebar yang menular pada siapa pun.

“Ada apa Nancy?” tanya teman perempuan no. 1.

“Itu pasti hal yang baik,” kata teman perempuan no. 2.

“Ayo ceritakan!” kata Kahli tak sabar.

Nancy menarik nafas. “Kalian tahu Eland?” tanyanya serius.

“Eland si penulis romance-thriller itu?” kata teman pria.

“YA!” kata Nancy semangat. “Apa kalian tahu, Eland menandatangani kontrak dengan perusahaan! Buku selanjutnya dari Eland akan lahir. Dan AKU EDITORNYA!”

“APA?!”

SERIOUSLY?!”

OMGGG!!!”

“UWU SELAMAT!”

Eland adalah idola mereka. Novel-novel thriller dengan minor-romance nya selalu membuat pembaca kagum. Alur yang tak bisa di prediksi dan minor romance yang membuat siapapun gemas.

“Nancy jangan lupa minta tanda tangan Eland,” kata Kahli memegang tangan Nancy.

“Kami juga Nancy!”

“Wow, padahal Nancy yang akan bertemu Eland tapi kenapa jantungku berdetak kencang!”

“Sama aku pun.”

Nancy mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja. Kalau begitu aku pergi dulu ya teman-teman,” kata Nancy membereskan barang-barang dan pergi.

“Ya hati-hati!”

“Daaahhh!”

Sepeninggal Nancy, teman-temannya masih ribut membahas kabar tersebut. Melupakan niat mereka untuk mereview novel.




The Disease Called LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang