Umperston Sinkhole

42 7 15
                                    


"How do I look?" tanyaku pada Tatiana setelah melepas gaun harian dan juga wig rambut hitam.

"You are so beautiful, My Dear," pujinya. "Seperti seorang warior princess."

"Ah, jangan berlebihan. Aku malah merasa seperti gadis Viking," sanggahku.

"Sebenarnya memang Gadis Viking lebih tepat. Kau tinggal menambahkan helem bertanduk," kelakarnya.

Aku memelototinya dengan gaya dibuat-buat.

"Sudahlah, ayo lihat pemandangan!" ajakku, usai menjejalkan gaun itu ke dalam tas ransel. Beberapa baju ganti dan uang juga kumasukkan ke sana.

Aku dan Tatiana yang biasanya seru ngobrol, malah terbengong-bengong saat melongokkan kepala ke luar jendela kereta. Hijaunya alam sekitar, memanjakan pandangan. Semilir angin yang menerpa wajah memberikan  kesejukan.

Siraman cahaya matahari di awal musim panas seolah mengisi kembali tenaga penghuni alam untuk beraktivitas. Burung bernyanyi dengan riangnya, hewan-hewan bergelayutan pindah dari satu pohon ke pohon. Namun yang paling lucu adalah koala, mereka masih juga bergerak lambat dan bermalas-malasan di atas dahan.

"Mungkin mereka makhluk paling santai di hutan ini," celetukku.

"Siapa?" sahut Tatiana.

"Koala. Lihat saja, hidupnya sangat tenang dan damai."

"Aku ingin seperti itu," timpal Tatiana lagi. "Tidak perlu pusing dengan segala pelajaran etiket dan tata krama. Juga aljabar dan trigonometri yang membuatku sakit kepala."

"Aku setuju untuk bolos kelas etiket, tapi aljabar sangat mengasyikkan Tatiana. Kita butuh perhitungan juga dalam hidup," bantahku.

"Ah, aku lebih suka perhitungan dalam pembukuan bisnis. Jika banyak uang, kita bisa belanja apa pun yang kita suka."

"Dasar tukang shopping!"

"Hahahaha."

"Tawamu bukan hanya melanggar etiket seorang Lady, Tatiana, tapi juga membuat telingaku pecah!" sungutku.

Begitu kembali melihat arah tujuan kereta, aku kembali terbelalak. Rombongan kereta kuda kami sudah sampai di dekat Umpherston Sinkhole. Sebuah kawasan gua yang telah runtuh, dan melesak ke dalam tanah. Namun berkat seseorang yang luar biasa, gua itu disulap menjadi sebuah taman indah. Entah, aku lupa siapa nama orang tersebut, Mama pernah menceritakannya padaku.

"Kita hampir sampai," kata Tatiana. Dia sedang melihat ke luar melalui jendela kereta yang satu lagi.

Aku tersenyum, lantas meraih tas ransel. "Sepertinya waktuku hampir tiba."

"Aaahhh, Adel," rengeknya,"tak bisakah kau menunggu setelah selesai kelas melukis?"

"Tidak! Radar Mr Avindale akan otomatis bekerja. Dia pasti mencium gelagatku jika akan berbuat aneh-aneh.  Sebelum dia sempat menduga-duga, sebaiknya aku segera menyelinap pergi," jelasku.

"Baiklah kalau kau bersikukuh. Jaga dirimu, My Dear," ucap Tatiana menyerah.

"Tentu saja My Dear. Turunkan aku sebelum tikungan itu," pintaku.

Kebetulan kereta kuda yang kutumpangi bersama Tatiana berada pada urutan paling belakang. Jadi tentu saja tidak akan menimbulkan kecurigaan yang berarti.

"Stop! Paman Kusir, tolong berhenti!" teriak Tatiana, mulai bersandiwara.

Aku menahan tawa dibuatnya. Lady Tatiana sepertinya juga punya bakat akting. Akan kuberitahu dia. Nanti saja, jika semua misiku sudah selesai.

Pelarian Sang PutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang