CHAPTER III - Big Mouth Rachel

165 37 11
                                    

I don't give a damn of a bad reputation.


Kebun di dalam Rumah Kaca De Rucci, 19:05 WIB, Enam tahun yang lalu

"Tu–anh! Tuan Luca! Pak Robert! Tolong! Kenapa—ah...? Ditonton Non ... Arte?!"

Sebuah tamparan keras dari salah satu bodyguard Luca, Yudha, dilayangkan ke rahang tirus Martha. "Tutup mulutmu! Kamu mau Odil yang menggantikan posisimu sekarang, hah?!"

Mendengar nama adik kandungnya disebut, Martha reflek menggelengkan kepala kuat dengan tubuh yang masih terhentak-hentak karena 'barang' milik bodyguard majikannya. Wanita yang baru genap berusia dua puluh tahun itu merasa sangat malu dan kotor. Ia tidak sanggup membuka kelopak matanya, meskipun tangan pria yang memasuki kehormatannya menekan kedua pipi dan mengarahkan wajahnya ke Artemis.

"Heh! Sudah kubilang sebelum masuk tadi ... kamu harus terlihat menikmati ini!" bisik pria bertubuh besar, berkumis semerawut, dan bernama Sakti—yang baru lima menit memperkenalkan diri sebagai asisten baru Robert.

Kali ini sang majikan sekaligus cucu tertua Luca yang bersuara, "Ini demi anak asuhmu, Martha."

Artemis yang menggeliatkan tubuh di bawah tekanan kaki Jacob, bodyguard senior Robert. Kedua tangan Jacob juga mencengkeram kuat-kuat kepala dan sepasang tangan kurus Artemis ke belakang. Berbeda dengan sepupunya, Dennis, yang rela ditembak demi kebebasan majikan kecilnya—Jacob selalu menurut kepada setiap perintah Robert—yang semua orang pahami tanpa dijelaskan, apa yang Robert katakan selalu berasal dari sudut pandang Luca.

"P-Pa ... pa...!!" jerit mulut Artemis yang tersumpal kain. Baru beberapa detik ia berhasil melepaskan satu tangan dari Jacob—berusaha menggapai kaki sang ayah yang berdiri tepat di sampingnya—suara tenor Luca yang lantang dan melengking membuat malam itu semakin mencekam.

"KERJA YANG BENAR, JACOB!! SURUH BOCAH ITU BELAJAR YANG BENAR!!"

Dengan patuh dan mudahnya Jacob menangkap satu tangan Artemis yang terlepas dari genggamannya. "Tolong, Non, diamati saja! Jangan menyusahkan saya dan Dennis, Non!" mohon Jacob tanpa mengurangi kekuatannya menahan gerak perlawanan Artemis.

"Kamu sudah dapat menstruasi pertama, kan? Kalau kamu ingin meneruskan garis keluarga, hal ini lumrah kamu pahami." Intonasi suara Luca sudah lebih menurun dari sebelumnya. Namun, sorot mata Artemis tidak akan lepas dari Robert yang perlahan berjalan ke pintu utama rumah kaca. Keluar tanpa mengujarkan sepatah kata apa pun. "Ayahmu itu bilang akan membawamu ke rehabilitas," tutur Luca tenang. Tangan pria tua yang mulai keriput itu memutar wajah Artemis hingga kembali menghadap ke arah Martha dan alat vital wanita itu yang terekspos. "Tapi, Opa yakin. Kamu akan kembali normal kalau mengamati langsung."

Artemis tidak perlu repot menutup sepasang manik matanya yang berembun hebat. Tidak terpikirkan oleh mereka bagaimana pening di kepala remaja perempuan itu perlahan memudar. Terhalang amarah, kesedihan, takut kesepian. Di bawah orang-orang, merasa diremehkan---terinjak-injak, yang terus mengatakan bait-bait moral kehidupan. Ia tidak bisa membela diri. Cicit remaja perempuan dari cucu sulung Luca telah kehabisan tenaga barang hanya berteriak meminta keluar dari rumah kaca---tempat dimana ia selalu belajar dengan Kak Emily.

Tiba-tiba terdengar bunyi benda kaca pecah, lalu berderak di atas tanah bangunan tembus pandang itu.

Artemis mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Dua sudut bibirnya yang mulai meninggalkan lecet---tidak peduli akan rasa sakitnya---menyeringai bahagia mendapati sosok Emily yang berlari ke arahnya. Menghambur dengan dua tangan merengkuh erat tubuh kecil sang murid. Kata maaf dari mulut Emily, serta gerak cepat melepas ikatannya terdengar samar karena di sisi lain Dennis dan dua pria asing lainnya menghajar Yudha dan Jacob.

ARTEMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang