CHAPTER VII: A Stranger Called Blair, A Hater Called Patra

74 21 0
                                    

"When it feels like my therapist hates me, please don't let me go crazy," -Serotonin by Girl in Red


Klinik Psikolog Shanta .W. M.Psi, sebulan yang lalu

Seorang wanita muda berambut hitam bergelombang sebahu, atau mungkin memang anggapan Patra kalau semua psikolog selalu tampak lebih muda, menjelaskan efek samping dari obat tidur yang pria itu gunakan.

Sejak setahun setelah pernikahan Charlie dengan sang ibu tiri, Charissa, Patra memang jadi terlalu bersemangat setiap harinya. Walaupun tidur di atas tengah malam karena keasikan mendengar cerita dari Apollo tentang keluarga De Rucci, Patra masih menjadi orang pertama yang bagun setiap subuh. Sampai dalam beberapa hari kemudian, Charissa lebih dulu tersadar dari tempat tidur dan membuatkan sarapan untuk mereka. Patra yang melihat Charissa harus sibuk setiap pagi sebelum bekerja, merasa gagal. Sejak pertama kali bertemu, wanita itu terlihat sangat kagum pada Patra yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sejak kepergian ibu kandung remaja laki-laki itu.

Akhirnya, demi membantu Charissa setiap subuh menyongsong pagi, Patra membeli dan mengkonsumsi obat tidur agar cepat terbawa dalam alam mimpi. Seperti orang lain kebanyakan, Patra juga tidak mengingat apa saja bunga tidur yang dialaminya, hingga tahun pertama perkuliahan.

Setiap malam, Patra tidak akan pernah berhenti melenguh dan mengais oksigen. Semua reaksi itu terjadi karena sentuhan-sentuhan asing serta hembusan napas yang terasa sangat nyata. Di ceruk leher Patra, dada, dan depan bibirnya yang tidak akan pernah berhenti melolong parau.

Begitu pagi menjelang, Patra tidak lagi sigap mempersiapkan perabotan masak dan bahan-bahan sarapan untuk Charissa. Kondisi sprei kasurnya kotor. Kekacauan dan rasa panik setiap pagi berganti menjadi lelah. Patra selalu mendapati bagian bawahnya basah dan nyeri luar biasa di area pinggul. Ia bingung, tetapi tidak kunjung membicarakan hal aneh itu pada Charlie, apalagi Charissa.

Pasalnya, setelah Bu Shanta mengambil alih satu kaleng obat tidur Patra yang sudah dibuka, sekaligus dua stok lainnya—kecemasan kian menjalar dan membuat tubuh Patra kian gemetar setiap malam. Bahkan ketika hanya terdengar bunyi tempat tidurnya berderit akibat beban dari orang lain di atas kasurnya.

"Jika kamu bisa menceritakan cara—orang itu ... meraba-raba tubuhmu, bahkan sampai suaranya, itu jelas bukan mimpi, Patra," jelas Bu Shanta. Wanita itu memandangi Patra yang masih berusaha menyangkal penjelasannya sendiri sepuluh menit lalu.

"Apollo pernah perhatian secara berlebihan sama kamu?" tanya Bu Shanta hati-hati.

Patra menggelengkan kepala yakin sambil bergumam, "Sama aja kayak sikap dia ke Artemis."

"Apa kamu ... pernah membayangkan atau berimajinasi melakukan 'interaksi lebih' bersama Apollo?"

"Sama sekali nggak pernah terpikirkan." Patra mengusap wajah dengan kedua tangan sebelum membiarkan punggung yang tadinya bersandar di kepala sofa melorot. Tubuh Patra yang semakin kurus seakan ingin tenggelam ke bantan kursi berlengan empuk itu.

"Kita baru coba lepas ketergantungan obat kamu dalam tiga minggu–"

"Empat, sekarang sesi terakhir di bulan ini. Hitungannya udah sebulan saya nggak minum obat tidur lagi," koreksi Patra.

Bu Shanta menghela napas, bingung juga menghadapi klien yang datang padanya. Jelas-jelas dirinya bukan Psikiater. Namun, lenguhan Patra direspons suara lain dalam visi gelap setiap pria itu tertidur. Menganjurkan pemasangan CCTV pun tidak mungkin. Patra sendiri bilang setiap pengeluarannya akan diketahui Charlie. Dengan empat bodyguards yang menjaga dari paviliun seberang teras, ayah dari pria berwajah hati itu pasti akan meminta penjelasan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARTEMISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang