The Blind And Dementia

123 1 1
                                    

Hari telah malam. Sekitar pukul sembilan tepatnya. Sepasang suami istri, Hiro dan Kirana, berpamitan kepada wanita yang merupakan ibu dari si suami. Mereka berjalan memasuki mobil yang terparkir di depan rumah, di pinggir sebuah jalanan kecil. Hiro menyalakan mobilnya, dan mereka pun melambaikan tangan kepada ibu Hiro.

Tak seperti biasanya, Kirana terdiam malam itu. Ia hanya bersandar menatap samping jendela mobil, mengamati setiap tempat yang mereka lewati sepanjang perjalanan.

"Yang, kamu gak apa-apa kan ?" tanya Hiro.

"Aku itu sudah capek dengerin pertanyaan pamungkas mama kamu. Dia kira kita juga gak pengen apa."

"Namanya juga orang tua. Mereka kan pengen anaknya bahagia."

"Ya masalahnya yang usaha keras itu kita lho. Mereka cuma bisa tanya terus tanya terus berulang-ulang."

"Udah... gapapa. Mungkin kita dinilai belum siap sama Tuhan."

Mereka akhirnya sampai di apartemen. Setelah memarkirkan mobil, mereka berjalan bergandengan tangan menuju lift sampai depan kamar mereka. Kirana memasukkan pin kunci pintu, dan mereka pun masuk ke dalam unit.

Malam itu Kirana tertidur dulu. Sementara Hiro masih harus menghabiskan makan malam yang baru mamanya beri. Tidak seperti biasanya, Kirana tertidur menghadap arah yang berlawanan. Mereka tidak saling berhadapan malam itu. Namun tetap saja Hiro masih melakukan rutinitasnya sebelum tidur, mencium pipi istrinya.

Tengah malam tak terasa, Hiro masih kesulitan untuk terlelap. Ia beranjak dari tempat tidur, dan memilih keluar dari kamar. Hiro hendak mengambil gitar kesayangannya yang ada di samping piano Kirana. Sejenak, ia memusatkan perhatian pada foto pernikahan mereka yang berdiri tegak dalam frame di atas piano.

Hiro membuka pintu teras, melaju beberapa langkah keluar, menatap rembulan yang sedang terang. Ia kemudian duduk di kursi tempat ia biasa memainkan gitar di teras. Tak perlu waktu lama, ia segera memulai petikan gitarnya. Memainkan sebuah lagu ciptaannya yang berjudul Sampai Jadi Debu.

Badai Puan telah berlalu ...

Salahkah ku menuntut mesra ...

Tiap taufan menyerang kau disampingku ...

Kau aman ada bersamaku ...

Hiro tidak tahu kalau istrinya juga belum tidur malam itu. Kirana diam-diam memperhatikan suaminya.

Selamanya ...

Sampai kita tua ...

Sampai jadi debu ...

Ku di liang yang satu ...

Kirana membalasnya dengan volume suara yang cukup kecil, "Ku disebelahmu ..."

Pagi telah tiba. Kirana terbangun lebih dulu. Ia membalikkan posisi tidurnya, menatap wajah suaminya. Ia merenung, meratapi kesedihan mereka. Namun semakin lama ia merasa dirinya lah yang salah. Selama ini hanya dirinya yang ia anggap tersiksa atas permasalahan mereka. Kirana menyentuh wajah suaminya, lalu mencium pipinya dan beranjak bangun.

Kirana keluar kamar, hendak memainkan pianonya. Namun rupanya ia sempat tertahan sejenak menatap foto pernikahannya di atas piano itu. Kirana kemudian mulai memainkan lagu yang sama dengan yang sudah dimainkan oleh suaminya semalam.

Badai Tuan telah berlalu ...

Salahkah ku menuntut mesra ...

Tiap pagi menjelang kau di sampingku ...

Ku aman ada bersama mu ...

Hiro terbangun mendengar alunan lagu yang sedang berputar. Ia sejenak menikmati, sampai akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur.

The Blind and DementiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang