6

43 11 1
                                    

"Mau bikin popcorn?" Tanya Mama dari dapur. Beliau mengacungkan paket instan yang tinggal dipanaskan di microwave. "Masih ada satu porsi."

"Enggak usah, Ma." Nuri menoleh. Dia duduk di sofa dengan bantal di pangkuan. Rambutnya masih sedikit basah sehabis mandi. Jari-jari Nuri menarik ujung-ujung kelimanan kaos panjangnya hingga menutupi kedua tangan. Malam ini sedikit dingin. Meski Nuri tadi sengaja mandi dengan air hangat, rasanya masih belum cukup.

"Teh? Cokelat panas?"

"Teh boleh, Ma." Kata Nuri. Dia menyalakan TV, memilih-milih tayangan. Karena tidak ada yang seru, Nuri memutuskan untuk memilih saluran film. Ceritanya sudah berjalan setengah dan dari judulnya bisa ditebak kalau ini adalah film komedi romantis.

Mamanya datang membawa dua mug, memberikan satu kepada Nuri. Beliau sedikit mendesah saat duduk di samping Nuri, menyender pada punggung sofa. "Tentang apa?"

"Baru ditonton."

Mama dan Nuri sesekali berkomentar di tengah suara TV. Di satu adegan, Mama berkomentar lucu dan Nuri tertawa karena jarang Mama bicara konyol. Sepertinya suasana hati Mama sedang baik. Sejak makan tadi, beliau tersenyum terus. Mungkin pekerjaan di kantor sedang lancar.

Nuri menyesap tehnya, menikmati setiap momen.

Buat Nuri, saat-saat Mama tidak menyebalkan seperti ini sangat langka. Keningnya tidak berkerut dan Mama tidak khawatir tentang masa depan. Mama menjadi single parent saat Nuri masih balita. Ayahnya kecelakaan tanpa meninggalkan warisan sama sekali. Mama, dengan anak yang masih sangat kecil, bekerja kantoran dan berusaha menjadi orang tua sekaligus pemberi nafkah utama. Orang-orang mencibir. Ada banyak komentar miring tentang Mama. Ibu seharusnya mengurus anak di rumah. Ih, hati-hati dengan janda. Pulang malam terus kayaknya. Bagaimana tumbuh kembang anaknya kalau cuma dititip ke orang lain terus. Semua berbisik-bisik tapi tidak ada yang nyata-nyata membantu. Buat mereka, keadaan hidup Mama dan Nuri adalah bahan obrolan ringan kalau sudah capek membicarakan kawin cerai artis di TV.

Nuri melirik Mama dari ekor matanya.

Mama sering bilang kalau Nuri anak kecil yang tidak mengerti masalah dunia nyata. Pesan Mama yang selalu diulang-ulang: Tugas kamu cuma belajar yang benar. Sisanya serahkan pada Mama. Tidak usah aneh-aneh ikut pergaulan bebas dan sejenisnya. Kalimat-kalimat itu seperti tato yang sudah lengket di otak Nuri.

Mama lupa Nuri punya kemampuan berpikir. Dia tidak selamanya jadi anak-anak yang main perosotan.

Melodi lembut terdengar dari TV. Layar menampilkan dua orang di perkebunan pir.

Karena kamu adalah duniaku. Dua orang itu mendekat. Kamera menyorot ke wajah mereka.

Sekarang dan sampai selamanya. Tangan menyentuh pipi. Bibir sedikit terbuka.

Mama bergerak gelisah. Beliau meraba-raba sofa.

Nuri fokus ke wajah. Meski dia tidak menonton awalnya, film ini berhasil membuat Nuri larut dalam ceritanya. Akting mereka jago. Gambarnya bagus. Musik makin tinggi dan layar menampilkan klimaks cerita. Sebentar lagi-

Laporan pertama dari tempat kejadian menunjukan-

"Loh, kok diganti, Ma?" Adegan di TV berganti jadi laporan berita.

"Udah malam. Sana ke kamar." Mama bukannya menjawab malah menyuruh Nuri pergi.

Jam di dinding menunjukan pukul delapan. "Tapi belum jam tidur, Ma."

Mama tidak menjawab. Beliau lanjut menonton TV.

"Astaga." Nuri menaruh mugnya ke meja kecil di depan sofa. "Jangan bilang karena tadi mereka mau ciuman."

Nuri Dan Fase Menjadi DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang