Door

262 32 11
                                    

Kau berdiri di atas rerumputan basah. Ujung rumput yang tajam terasa menggelitik telapak kakimu yang tidak dialasi apa pun. Udara beku mengalir di sekitar, menyergap tubuh mungilmu dalam dingin yang mencekam. Kau mengigil, bukan hanya disebabkan dingin. Ada aura lain di sekitarmu yang membuatmu merinding.

Kedua matamu yang lelah menatap ke depan, pada sebuah pintu merah yang tertutup. Pandanganmu memburam, rasa sakit di kepalamu sama sekali tak membantu.

Samar-samar, di tengah kesadaranmu yang melayang, kau mendengar suara. Suara itu mengalun dingin, membuatmu memaksa kedua matamu tetap terbuka. Insting alamimu untuk bertahan hidup meneriakkan kata lari, tapi kakimu tak mampu digerakkan. Sekujur tubuhmu gemetar hebat, dan kau beku di depan pintu merah itu.

Datanglah,

Datanglah pada kami,

Darahmu telah jatuh di tempat yang salah.

Satu tetes saja, dan kau terjebak.

Mungkin selamanya.

Berapa jangka waktu untuk selamanya?

Nada-nada sumbang membuatmu pekak, tapi kau bahkan tak mampu untuk sekedar berteriak atau menutup telinga. Kau hanya beku, lidahmu kelu. Kau membisu dan terpaku. Suara tawa bergaung di sekitarmu, memberi tambahan nuansa kelam pada situasi yang sudah mencekam.

Bagaimana rasanya?

Bagaimana rasanya lepas dari mimpi buruk dan diberi mimpi buruk yang lain?

Bagaimana rasanya malam-malam mencekam dan kau tak bisa tidur sama sekali?

Suara itu tertawa lagi. Lebih lama dan lebih keras dari yang sebelumnya. Air mata turun dari sudut matamu, mengalir membasahi pipi hingga jatuh ke bawah dagumu. Pintu merah di depanmu perlahan terbuka. Suara deritnya pelan dan membuatmu menahan napas. Kau tak mau melihat, tapi kedua matamu terpaku pada kegelapan yang perlahan terlihat. Kegelapan di balik pintu merah yang perlahan terbuka lebar.

Kau menunggu.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya.

Suara derit pintu yang pelan.

Kau menunggu, masih bertahan dengan kedua tanganmu yang mengepal. Kuku jarimu mengoyak permukaan kulit, perih dan aroma darah menguar di udara. Tapi kau tidak peduli. Ada sesuatu yang lebih perlu diperhatikan ketimbang luka di telapak tangan.

Kau takut, bukan?

Jantungmu berdegup kencang, keringat dingin mengalir dari dahimu. Kau mengigit bibir hingga darahmu bercampur dengan saliva. Kau tidak bisa menjawab pertanyaan yang diutarakan suara dingin barusan. Suara itu bertanya lagi. Kali ini lebih dingin, lebih mencekam, dan membuat ujung jarimu semakin beku.

Kau takut, bukan?

Kau takut pada semua bayangan yang kami berikan.

Kau takut pada hadiah kecil yang membuatmu menjerit keras.

Ada nyanyian nyaring dengan nada-nada mencekam.

Kau takut, tapi kau harus datang.

Pintu itu semakin terbuka lebar. Tidak ada yang terlihat selain kegelapan. Atau mungkin hanya belum. Kau tanpa sadar tidak berkedip sedari tadi. Kau bisa mendengar detak jantungmu sendiri yang terlalu keras, seolah-olah jantungmu tengah berada di telingamu.

Sudah kubilang, bukan?

Datang ke Atlantis atau mati.

Sepasang mata merah bercahaya dalam kegelapan. Kau terkesiap begitu seringai mengerikan tertangkap oleh kedua bola matamu. Kau ingin berbalik dan lari, tapi seakan ada yang menarik tubuhmu. Kau dipaksa mendekat pada pintu yang terbuka, semakin dekat pada dua mata merah mengerikan dan seringai kejam itu.

Semakin dekat.

Kau melewati pintu, merinding begitu kegelapan seolah memelukmu dengan sukacita. Suara tawa terdengar, nada-nada sumbang melayang di sekitar. Dengan semua keberanian yang tersisa, kau menatap satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Sepasang mata merah dan seringai kejam.

Seringai itu melebar, penuh kemenangan. Sorot mata itu melebar dengan puas. Pintu merah di belakangmu menutup dengan suara keras, menjebakmu di baliknya. Kau tidak berdaya, tubuhmu seakan diambil alih oleh kegelapan. Teriakanmu teredam oleh ucapan selamat datang yang mengerikan.

Selamat datang di Atlantis!

AtlanteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang