Pendahuluan

1 0 0
                                    

“Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi gadis cantik!”

Rata-rata, anak gadis berkata demikian ketika ditanya ingin menjadi apa mereka kelak jika tumbuh dewasa. Sangat jarang ada mengatakan ‘Aku ingin menjadi gadis pintar’ ‘Aku ingin menjadi gadis baik hati yang disukai banyak orang’ dan sejenisnya. Hal itu tentu saja wajar. Setiap gadis di dunia ini pasti ingin menjadi cantik.

Cantik menurut penilaiannya sendiri dan cantik menurut penilaian orang-orang di sekitarnya. Kecantikan selalu dipandang sebagai sesuatu yang sempurna. Wanita cantik selalu mendapat kemudahan dalam setiap langkah hidupnya, entah dari segi karir, jodoh, maupun pertemanan. Wanita cantik selalu dipuja dan diagung-agungkan terlepas dari perangai atau sifatnya yang mungkin membuat orang mengernyit.

Kenyataan bahwa wanita cantik selalu mendapat perlakuan spesial selalu membuat berbagai pihak iri, terutama dari golongan ‘wanita berwajah pas-pasan, jelek, burik’ dan sebutan-sebutan yang tidak enak didengar.

Bahkan wanita cantik yang terlahir miskin, dia tak perlu bersusah payah mencari pasangan karena semua laki-laki akan datang padanya bagai kerumunan lebah mengitari setangkai mawar. Wanita cantik hanya perlu duduk, maka tanpa diminta akan datang seorang pria yang meminangnya. Sang pria tak akan mempedulikan bagaimana sifat wanita tersebut, apakah dia memiliki hati yang baik, apakah dia sayang keluarga dan memperlakukan orang-orang di sekelilingnya dengan sopan—hal semacam itu menjadi urusan belakangan. Rupa seseorang menjadi hal pertama yang akan dilihat dan diperhatikan.

Tulisan ini tidak akan membahas soal wanita cantik dan segala macam privilege yang didapatkannya, melainkan kisahku sebagai wanita berusia 27 tahun terlahir dengan wajah jelek dan tak diinginkan.

Mungkin ini fiksi, mungkin ini kisah nyata, apapun itu hak para pembaca untuk mengambil sisi yang mana. Mungkin saja ini merupakan curahan hati yang telah dipendam selama bertahun-tahun, yang mengerak di dasar hati. Tidak ada tujuan khusus selain ingin berbagai kisah yang mungkin menimbulkan depresi (karena, ya, sampai saat ini saya masih berjuang melawan depresi dan anxiety). Menulis dan mencurahkan isi hati semoga menjadi jalan terbaik yang bisa kulakukan.

Sampai jumpa di bagian kedua dari tulisan yang berisi pendahuluan ini. Semoga kalian selalu sehat dan bahagia.

Love,
Hujan Kelabu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UGLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang