1. Prolog

37 4 0
                                    

Wanita itu berjuang menembus gang sempit selama lebih dari yang bisa diingatnya. Tembok-tembok rumah di kiri dan kanannya saling berhimpitan serta menjulang begitu tinggi hingga nyaris menutupi langit di atasnya. Tanahnya licin dan basah karena salju, ditambah kakinya terkilir yang membuatnya kesulitan melangkah dengan benar.

Ia dapat merasakan dingin menusuk-nusuk pundak dan kakinya. Napasnya menderu, langkahnya tertatih. Ia terlalu takut menengok ke belakang. Pada sosok yang sedang memburunya dan mengincar nyawanya.

Malam semakin larut dan hening, wanita itu dapat mendengar langkah pemburunya yang semakin dekat. Setiap langkah yang ia dengar dari sosok itu seperti ketukan mundur menuju kematian.

Saat wanita itu berusaha keras untuk mempercepat langkahnya, gang yang ia lewati malah terasa semakin sempit. Tanahnya semakin licin dan dingin. Ia mencoba memperlambat langkahnya sembari mencari tempat bersembunyi, meski ia tahu hanya masalah waktu sebelum pemburu itu benar-benar menangkapnya.

Di depan sana, ada pintu kecil yang menghubungkan jalan besar. Jika ia bisa mencapai pintu itu, setidaknya ia bisa berteriak minta tolong pada satu atau dua orang yang sedang lewat. Jadi ia harus bergegas meski nyeri di kakinya semakin menyengat.

Sekelebat bayangan mendadak menghentikan langkahnya. Tidak, seharusnya ia tetap bergerak, seharusnya ia tidak boleh berhenti. Pintu itu masih jauh di depan sana. Namun, rasa takut absolut benar-benar membuat fungsi motorik tubuhnya seolah lumpuh.

Napasnya semakin berat, jantungnya berdentum sangat keras seolah akan nyaris meledak. Ia bisa merasakan kehadiran sang pemburu di sekitarnya. Sekarang bukan waktunya berdiam diri, ia harus bergerak menuju pintu itu atau ...

Mendadak sebuah hantaman keras mengenai kepalanya. Wanita itu jatuh tersungkur. Panas dan nyeri hebat menggempur kepalanya dengan cepat. Pandangannya kabur, napasnya sesak.

Sosok pemburu itu melangkah pelan ke arahnya. Tersenyum menyeramkan di balik tudung hitam yang menutupi wajah, ia menginjak pergelangan kaki sang wanita hingga tedengar bunyi gemeretak tulang.

"Kumohon, jangan bunuh aku." Wanita itu susah payah mengeluarkan suara dari tenggorokannya yang kering, di tengah denyutan nyeri kepalanya yang semakin menyengat, serta rasa kebas di pergelangan kakinya.

Pemburu itu berjongkok, kepalanya miring ke kiri mengamati wajah sang wanita yang menangis dan memohon kepadanya. Dengan suara rendah dan halus, pemburu itu berkata, "Karena itu, seharusnya kau tidak banyak bertingkah." []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REMEMBRANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang