Jonestown

137 15 1
                                    

Malam itu, semua orang memaksa wajah letihnya untuk tersenyum seraya tertawa. Malam itu, sekelompok anak muda menyanyikan lagu jazz dengan piawainya, sesekali gemuruh tepuk tangan terdengar dari seluruh sudut ruangan. Malam itu, mereka bernyanyi tentang anak-anak dan masa depan.

Malam itu, keringat dingin mengucur dari kulit tiap manusia yang duduk berlindung di bawah atap seng berpura-pura menikmati hiburan di depan mata mereka. Malam itu, seorang pria menyelipkan selembar kertas pada tamu yang baru saja datang hari itu.

Tertulis di sana,

Yang terhormat, bapak anggota kongres.

Ini Vernon Gosney dan Monica Bagby.

Bantu kami keluar dari Jonestown.

Malam itu, para tamu diberikan tempat untuk beristirahat. Malam itu, penduduk Jonestown terlarut dalam tidurnya, bermimpi tentang segalanya kecuali tempat itu.

Jonestown seharusnya sebongkah surga di muka bumi. Di mana tanahnya subur, dan tidak ada gangguan nyamuk ataupun ular. Sebuah tempat untuk memulai kembali kehidupan, untuk berbahagia bersama sebagai sesama pengiku People Temple.

Namun tanahnya rusak, apapun yang ditanam tidak dapat tumbuh. Nyamuk, ular, dan semua makhluk hidup lainnya menggerogoti apa yang mereka miliki. Dengan perut menahan lapar, mereka menaruh harap pada pria yang telah membawa mereka semua ke sini. Pria yang merupakan sosok penyelamat mereka, yang memberi mereka tempat ini dan memberi segala yang mereka inginkan.

Dan ia memberikan mereka ini.

Jim Jones mungkin utusan Tuhan, yang dikutuk oleh-Nya dan jatuh ke bumi ini.

Jim Jones merupakan iblis.

Esoknya, pria itu masih menatap para tamu dengan pandangan skeptis di balik kacamata hitamnya. Beberapa pengikutnya telah membangkangnya, berharap keluar dari surganya untuk kembali ke keluarga mereka.

Namun yang mereka harapkan lebih dari itu.

Kala senja menyapa, para tamu hendak pamit. Mereka membawa lima belas pengikutnya, seluruhnya dengan jemari yang bergetar dan tatapan penuh rasa takut.

Keinginan mereka, tidak ada lagi sosok yang menjaga mereka dengan senapan tiap malam–tidak, tidak ada lagi sosok yang menjaga mereka untuk lari keluar dari penjara ini. Tidak ada lagi penderitaan dan kepedihan tiap malam sang bapa memerintahkan mereka apapun yang ia pinta.

Mereka menaiki mobil pick up itu dengan jantung yang berdebar keras, dengan kedua tangan terkepal juga mulut yang terkatup rapat.

Sebuah mobil mengikuti mereka, menampung beberapa orang dengan senapan berlaras panjang di tangan.

Dan kala kaki mereka kembali menapak tanah, beberapa langkah menuju pesawat kecil di tengah hutan itu...

Dor!

"Semuanya, cepat dekati pesawat!"

Mereka semua membungkukkan tubuh, beberapa berhasil masuk ke pesawat. Peluru terus berdatangan, menghujam tidak hanya raga mereka, tetapi juga jiwa-jiwa yang sudah bertahun-tahun mendambakan kebebasan.

Seorang pria terkapar di atas tanah, tangan menutupi bagian kepalanya ketika badai peluru itu berlangsung. Tak lama, ketika tidak ada lagi sedikitpun gerakan dari mereka, suara langkah terdengar mendekat. Sepasang mata memperhatikan mereka, mengacungkan senapan pada tiap senti otot yang berdenyut.

"Argh!"

Satu lagi tumbang.

Pria itu menahan napas, berharap orang-orang berpikir dirinya sudah mati. Namun mereka tetap melangkah maju, mendekatinya.

Hingga ia dapat melihat sepasang sepatu berada di samping kepalanya.

Saat itu ia harus menentukan pilihannya.

Hidup atau mati.

Sekilas pria itu mendongak, menatap sosok yang membawa senapan tepat di sampingnya. Ia berlutut, mendorong lutut orang itu, tetapi sosok itu lebih kuat. Moncong senapan kini tepat menempel di dahinya. Entah arus apa yang ia rasakan di segala penjuru tubuhnya, pria itu segera berdiri, memukul dagu sosok di hadapannya hingga ia terjatuh. Segera saja ia merebut senapannya, menembak tanah tepat di samping kepala lawannya, memaksanya menutup telinga.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari dalam pesawat.

Pria itu berlari ke dalam, melihat sosok yang sudah terkapar di lantai pesawat dengan penuh darah dan seorang pria berjanggut mengarahkan senapan ke pilot. Tanpa pikir lagi ia berteriak, menarik perhatian sosok itu. Kini dua senapan saling menatap satu sama lain. Jemari sudah di tempat, tinggal menunggu satu tarikan lagi, siapa yang paling cepat–

Sang pilot memukul kepala sosok itu, membuatnya seketika rubuh.

"Bawa dia keluar!"

Pria itu menggotong sosok tadi, berusaha sekeras meungkin tidak menginjak sosok yang entah akan menjadi mayat atau tidak di lantai, lalu melemparnya keluar dari pintu pesawat.

"Kita pergi sekarang!"

Dan pesawat itu terbang tinggi, membawa orang-orang beruntung di dalamnya, meninggalkan lebih dari sembilan ratus orang yang akan ditemukan meninggal di seluruh penjuru Kota Jonestown. Sepertiganya anak-anak, seluruh mata tertutup dan tangan bergandengan.

GenFest 2020: Historical Fiction x ActionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang