"Apa yang kau coba buktikan, Tundjung?"
Aku mengangkat wajah, menatap sepasang mata kelabu Anne tanpa sadar. "Buktikan apa, Mevrouw?"
"Kau tampak berusaha sekali untuk mengesankan Rudolf."
Kutundukkan kepala kemudian, lebih karena kebiasaan. Lagipula, Anne tidak pernah marah dan seolah memperlakukanku sederajat dengannya.
Kubuka-tutup buku di pangkuan. "Saya pun ingin memakai gaun renda itu, Mevrouw, dan dipanggil Noni, dan disiapkan makan serta pakaiannya, dan berjalan bersisian dengan Meneer juga Mevrouw, seperti Lhaksita. Bukannya berjalan di belakang, membawa anjing bertali kekang. Saya ingin membaca dan menceritakan isinya, seperti yang Lhaksita lakukan, bukannya membaca diam-diam di bawah belas kasih Mevrouw. Andai bisa, saya ingin jadi Lhaksita, bukannya Tundjung."
"Tahukah kau arti namamu, Tundjung?" Anne bertanya. "Teratai, yang warna bunganya lebih cemerlang dalam air berlumpur kotor. Bahkan ketika berkubang dalam keburukan, ia tetap menawan."
***
Mevrouw Anne wanita yang ganjil. Tak sedikit pun dia menunjukkan rasa cinta dan hormat pada suaminya, Rudolf, yang tinggi besar, pirang, bermata biru; seorang pria Belanda totok. Meneer Rudolf sendiri jarang menunjukkan kepeduliannya pada istri Kaukasia-nya yang sempurna.
Barangkali ada hubungannya dengan Lhaksita, anak Indo Rudolf, hasil perkawinannya dengan Nyai yang terdahulu, yang meninggal jauh sebelum Anne datang. Rudolf jelas memandang Nyai itu lebih dari sekadar gundik, dan pria itu menatap Lhaksita layaknya harta satu-satunya.
Akulah yang babu. Sederajat dengan sopir dan jongos. Terkecuali di mata Anne.
Anne sesekali mengizinkanku masuk ke ruang kerja dan meminjam bukunya, mendidikku membaca, dan mengajari bahasanya sedikit-sedikit—semua itu dilakukannya di belakang punggung Rudolf. Padahal, ingin benar aku berkeliaran di sana dengan bebas seperti Lhaksita, memamerkan pengetahuanku pada Meneer.
Seperti saat ini—saat Rudolf bersantai di kursi goyangnya, mendengarkan radio, sementara aku mengurusi makanan anjing peliharaan anaknya padahal perutku sendiri keroncongan.
"Beruntung, kau, Monsieur," bisikku pada anjing itu. "Aku tak makan jika belum diizinkan."
Aku berjinjit, mengintip dari jendela, menatap penuh damba pintu ruang kerja yang menganga.
Hanya sebentar .... Aku menyelinap, mengendap ke ruang kerja. Bau bulu dan makanan hewan tergantikan aroma kertas menguning dan serbuk kayu. Bahasa Belanda menghiasi hampir semua sampul buku. Kuambil buku terakhir yang kubaca.
Aku terlarut. Sehalaman kugasak, sebelum kemudian teringat—
Kujatuhkan buku begitu saja dan belari. Kepanikan membuatku sembrono, dan Rudolf jelas melihatku melesat keluar dari ruang kerjanya.
Di halaman belakang, hewan peliharaan Lhaksita lenyap. Kuedarkan pandangan, lantas melihat gumpalan bulu cokelat itu—kaki belakangnya menendang-nendang, berjuang melewati celah pagar, membawa tali kekangnya yang lupa kuikat.
"Anjing!" Aku berteriak, berlari menyusulnya. Guntur menggetarkan tanah, langit menggelap pertanda akan turun hujan, seperti merayakan kesialanku.
Bola bulu itu berhasil mendorong dirinya keluar. Aku tak punya pilihan selain menyingsing kain batikku dan memanjati pagar. Rudolf barangkali kena serangan jantung menontonku. Dia membentak dalam Bahasa Belanda, mengataiku tak tau adab dan sebagainya, diikuti ancaman-ancaman hukuman.
Melewati beberapa rumah dan pabrik tebu, anjing itu seperti kerasukan. Aku mengejarnya sampai pasar. Para bujang mengangkut karung-karung di sudut mataku, penawaran harga berseliweran di telinga, dan aroma sayuran layu kuhidu.
"Anjing!" Aku berteriak lagi sampai beberapa kepala menoleh. "Monsieur!"
Kalau bola bulu itu menggunakan telinganya dengan benar, dia pasti berbalik. Namun, tidak.
Tak sekali dua kali aku menabrak orang, menggulingkan dagangannya, dan dihujani pekik terkejut serta caci maki.
Keluar dari area pasar, Monsier lagi-lagi cari penyakit. Ia melesat ke arah dokar, lalu berbelok di saat-saat terakhir, membiarkanku menabrak salah satu kuda sampai hewan itu jadi liar.
Aku bangkit dengan cepat dan melihat anjing itu berusaha masuk melalui celah pagar kawat. Di sana, tertempel tulisan, "Pribumi dan anjing dilarang masuk."
Pantatnya bergoyang saat mencoba melesakkan diri di antara kawat-kawat yang melengkung.
Meninggalkan kekacauan, aku menangkap Monsieur sebelum dia melukai dirinya sendiri. Aku berlari menggendongnya ke antara pepohonan, tergelincir tanah yang menurun, jatuh terguling. Napasku tersengal. Aku tidak mencoba bangkit, selain karena kakiku sakit, aku juga bersembunyi, menunggu sampai keributan kuda lepas mereda.
Hujan turun rintik-rintik. Aku berdoa semoga tak ada yang mengenaliku saat hewan tunggangan itu menghancurkan pasar, tetapi mustahil. Rudolf, kalau tak menghabisi nyawaku, pasti membuangku. Atau dia menghabisi nyawaku dulu, lalu membuang jasadku.
"Ini gara-gara kau, Monsieur." Aku memelototinya. Anjing itu meringkuk ke dekapanku dengan bulu yang basah dan tubuh menggigil. Aku mau tak mau memeluknya. "Tapi kau satu-satunya temanku."
Karena hujan makin deras, aku berjalan pincang sambil membawa Monsieur. Kurasa, anjing ini pun tak menyukai Lhaksita, yang hanya menarik-narik tali kekangnya, memamerkannya ke teman-temannya, lalu melemparnya ke tanganku setelah bosan. Lhaksita bahkan tak memberinya nama. Aku sendiri yang memanggilnya Monsieur.
"Bagaimana kalau kita kabur berdua?" tanyaku. Monsieur merengek, mungkin menyetujui. "Kita berenang di laut. Kau bisa mengajariku berenang gaya anjing. Anne bilang, Nederland tempat yang indah. Di sana, aku bisa sekolah. Kau bisa berlarian bebas."
Aku malah kembali ke rumah Rudolf.
Rudolf dan kawanannya tampak marah di teras. Salah satunya membawa senjata api untuk berburu.
Dengan tubuh gemetar dan rasa sakit teramat sangat, aku menyelinap lewat pagar yang tadi kupanjat. Kukembalikan Monsieur ke kandangnya. Di pintu belakang, Anne berdiri terpaku. Matanya yang kelabu membelalak seperti melihat hantu.
"Tundjung ..." Matanya berkaca-kaca. Tangannya seakan hendak meraihku.
"Seperti teratai, bukan, Mevrouw?" tuntutku dalam tirai hujan.
Anne menahan diri untuk tak meneriakkan namaku. Namun, tetap saja Rudolf dan kawanannya melihatku keluar memanjati pagar.
Kakiku tadinya merah. Kini, setelah memanjat pagar lagi, ia bengkak membiru. Lalu, kurasakan kepalaku dihantam dari belakang. Air menetes-netes ke wajahku saat aku terbaring.
"—tak butuh budak yang membuatku malu." Rudolf menggeram. Tatapannya bengis. "Sekali inlander, tetap inlander!"
Seperti teratai. Cemerlang di antara air berlumpur.
Aku terbahak. Dengan kesadaran yang setengah hilang, kukatakan bahwa anjingnya saja lebih pintar darinya, membuat Rudolf dan teman-temannya berdengap.
Aku menoleh, menatap lubang kecil di pagar, yang tampaknya sudah lama diincar Monsieur. Dalam hati, aku meminta maaf pada anjing itu karena mengembalikannya ke rumah ini. Karena, setelah memanjati pagar itu, barulah aku tersadar ... pertanyaan Anne sebelumnya: Apa yang kau coba buktikan, Tundjung?
Tidak ada, Mevrouw. Aku terkekeh. Air hujan masuk ke mulutku. Tak perlu membuktikan apa-apa pada orang-orang ini.
Moncong senjata menempel di sisi kepalaku. Dengan pemikiran bahwa aku bukan Lhaksita, bukan Noni Belanda yang dibenci anjingnya sendiri—bahwa aku adalah Tundjung ... memberiku secercah kedamaian.
Terlahir sebagai pribumi, mati sebagai pribumi.
![](https://img.wattpad.com/cover/225248532-288-k574748.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2020: Historical Fiction x Action
Ficção HistóricaAda banyak hal yang terekam dalam sejarah. Salah satunya adalah pertarungan hebat dari mereka, yang berusaha bertahan hidup, ditengah situasi kacau yang mengguncang kemanusiaan. *** Dalam Genre Festival Nusantara Pen Circle kali ini, para penulis a...