Malam beranjak semakin matang. Bintang-bintang yang sempat memperlihatkan diri tiba-tiba tak terlihat, terhalang awan hitam pekat. Sejurus kemudian, langit menumpahkan semua yang tersimpan. Suara air hujan menghujam bumi begitu samar dibalik jendela yang basah bagian luarnya. Hawa dingin dari pendingin ruangan menjadi tambah dingin, membuatku bergelung di dalam selimut, mencoba untuk memejamkan mata, mengistirahatkan diri setelah banyak kejadian tak terduga selama 24 jam terakhir.
Tapi ketenanganku tiba-tiba terusik. Firasatku tidak enak. Mencoba membalikkan badan, kanan-kiri, kiri-kanan. Indra penciumanku menangkap aroma sesuatu. Bukan bau tanah yang basah karena ditikam air hujan. Lebih seperti bau gosong.
Gawat.
Buru-buru mengibaskan selimut, beranjak dari tempat tidur, meraih kacamata di atas meja. Sempat terdiam sebentar saat memegang gagang pintu. Bagaimana kalau itu pencuri? Tapi bukankah seharusnya pencuri hanya merampas harta benda, kenapa malah mencari masalah di dapur. Oh tidak, epertinya dia ingin membakar habis rumah ini. Aduh, bagaimana dengan Si Kembar? Apa mereka baik-baik saja di kamar? Atau sudah dibawa lari.
Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir prasangka buruk yang liar memenuhi kepala. Mau seberbahaya apapun orang itu, aku harus bisa menyelamatkan seisi rumah, termasuk rumah ini sendiri. Semoga saja Tuhan tidak berkehendak mengambil nyawaku lebih cepat. Oke, terlalu berlebihan.
Keluar dari kamarku, mengendap-endap sembari mengawasi. Sejauh ini lantai dua aman. Mengintip sebentar ke kamar kembar, pintunya dibiarkan dibuka, isinya kosong. Menahan napas sebelum akhirnya menuruni tangga. Lampu ruang makan menyala terang, dari sanalah bau gosong itu tercium pekat. Samar-samar terdengar percakapan, sekitaran 2 orang.
Baiklah, cepat atau lambat aku harus mengusir para bedebah itu, semenyeramkan apapun. Kusambar sapu ijuk di sudut ruangan, menjadikannya senjata. Masih dengan hati-hati mendekati dapur dan....
"HYAAATTT!!!" Sapu ijuk seharusnya melayang di dekat mereka. Eh, menatap terkejut biang keroknya, juga jengkel tak terkira.
"Ngapain sih, Bang? Mau pamer ilmu bela diri?" Salah satu adik perempuanku, Ryn, menghindar.
"Buat apa pula sapu ijuk itu? Memukul kami?" Kembarannya, Ran, menyahut acuh tak acuh. Tangannya sibuk memindahkan telur gosong dari atas wajan, tidak memperhatikan.
Lantas, dengan emosi, kedua tanganku 'memainkan senjata' mengarah persis ke mereka. "IYA. MAKAN NIH! Tahu gak seberapa khawatirnya aku saat mencium aroma gosong, HAH!?" Aku kesal bukan main. Jadi saat sapu ijuk di tanganku tepat mengenai kepala dan badan mereka, menghujam tanpa ampun, aku tak peduli apakah mereka kesakitan atau tidak.
"Astaga, memang Abang kira kita ini apa? Penyusup? Lantas memasuki rumah dan membakarnya?" Ran menceletuk sambil mengusap kepala, satu tangannya lagi membawa piring ke meja makan, disusul Ryn di belakangnya yang memegang punggung, merasa sakit walau cuma dipukul ringan.
Aku terdiam. Dugaan mereka sesuai dengan pikiranku. Haih, aku malu sekali sudah menyangka yang bukan-bukan. Yakin sekali wajahku memerah sekarang. Melihatku diam saja, membuat mereka saling berpandangan lantas tertawa bersama. Sial.
"HAHAHAHA!!! Aduh, tumpul banget sih, bang, otakmu," Ryn memakiku, sekali lagi tertawa. Memegang perut dengan kedua tangan. Ran juga tidak terlihat ingin berhenti, malah menepuk-nepuk ujung meja dengan keras.
Aku menghela napas panjang, membiarkan kedua adikku mengolok-olok. Memilih untuk menarik kursi dan duduk berhadapan. Bertanya ketus, "Lagipula kenapa memasak jam segini sih? Kalian kan bisa bangunkan aku atau tidak memesan pizza kalau kalian segitu laparnya?"
Tawa mereka akhirnya mereda, malah menatapku. Ran menggeleng, mengambil inisiatif untuk menjawab. "Kita sedang belajar masak, Bang. Kalau kita bangunkan Abang, minta diajarkan, yang ada Abang malah mengusir kami dari kamar." Ryn mengangguk setuju untuk kemudian ikut menimpali. "Tadi kami sudah menonton tutorial di youtube, kok. Ambil langkah yang mudah seperti memasak telur. Tapi malah---" Kedua matanya menatap ke arah telur yang menghitam.
Aku sekali lagi terdiam. Satu, karena terharu mendengar penjelasannya. Mereka ingin berusaha sendiri, tak melibatkan siapapun. Aku hargai semangat itu walau hasil akhirnya kurang memuaskan. Dua, sejak kapan mereka ada niatan untuk memasak sendiri? Bukankah biasanya mereka tidak peduli tentang ini? Bahkan mereka malas melangkah ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas, selalu menyuruh aku. Tidak mungkin mereaka ingin balas budi. Alih-alih mengurangi pekerjaan rumah yang lain, menyetrika baju misalnya.
"Kalian ingin pamer bakat ke gebetan kalian? Bilang bukan apa-apa tentang tetek bengek memasak, padahal kalian paling payah di muka bumi." Aku berusaha menebak kemana arah pikiran mereka. Sering kali kulihat teman-teman perempuan sekelas menunjukkan bakat mereka kepada orang yang disukainya. Entah itu memasak, bernyanyi, menari atau apalah yang bisa menarik perhatian pujaan mereka.
Mereka berdua tersedak, padahal tidak minum apa-apa. Ekspresi mereka berdua berubah. Jelas sudah jawabannya. Aku menepuk dahi. Hah... dasar. Gara-gara lawan jenis, toh, yang membuat bocah-bocah ini bersemu merah, malu karena ketahuan. Memang ya kalau sudah suka pada seseorang, sifat asli bisa berubah 180 derajat. Kalau aku sih tidak mungkin. Aku tidak mungkin jatuh cinta. Umurku 16 tahun, masih muda, jalan juga masih panjang, membuatku malas berhubungan dengan lawan jenis. Entahlah...
![](https://img.wattpad.com/cover/224356776-288-k78862.jpg)
YOU ARE READING
WTF=Way To Free
Random"...And if you need to find a way back Feel you're on the wrong track Give it time, you'll learn to fly Tomorrow is a new day And you will your own way." (A1)