04 = GOSIP

10 2 4
                                    

Setelah berhasil menghanguskan telur semalam, Si Kembar kembali berulah esok paginya, berencana membuat nasi goreng sebagai sarapan. Sedikit bersyukur karena aku sempat mengurungan niat ke kamar mandi, berbelok arah ke dapur dan mendapati kedua sosok mereka tengah memanaskan wajan untuk kemudian aku mengambil alih semuanya. Seruan protes segera saja melayang dari mulut mereka, tidak ku hiraukan. Bisa-bisa saluran pencernaanku bermasalah dan mengakibatkan harus bolak-balik toilet saat di sekolah. 

Pantang menyerah, mereka berusaha menyingkirkanku sejauh mungkin dari kompor, bilang aku mengganggu mereka belajar memasak. Aku juga bersikeras tidak ingin bayangan buruk itu terjadi. Sepagi itu, debat pun dimulai dan selalu berakhir sama seperti debat-debat yang lalu, aku menang. Mereka menyerah. Aku bukan tandingan yang sepadan dengan bocah-bocah. Aku jadi penasaran laki-laki mana sih yang memikat Si Kembar sampai mereka serius ingin memasak, sesuatu yang berseberangan dengan image mereka yang suka bermain-main? Aku tidak bohong. Mereka memang usil.

Karena itu, aku membiarkan mereka menonton proses memasak sarapan. Raut wajah adik menyebalkan yang suka menjahili kakaknya berubah serius. Tidak satu detik pun perhatian mereka teralihkan dari nasi yang perlahan berubah warna menjadi kecoklatan.

Aku sempat mengernyit bingung kala mereka menyuruhku menyisakan sedikit dari nasi goreng dan menaruhnya di kotak bekal. Setahuku mereka lebih tertarik dengan makanan di kantin dan bukannya memilih makanan rumahan. Aku juga yakin mereka juga terlalu malas untuk mencuci benda itu sepulang sekolah. Aneh. Aku memutar-mutar kotak bekal berwarna biru di genggaman, warna favorit keduanya, sebelum memutuskan untuk bergabung dengan mereka di meja makan. Apa mungkin bekal itu bukan untuk mereka melainkan untuk diberikan kepada gebetannya mereka?

Aku tertawa hambar mengingat pertanyaan itu tadi pagi. Cepat sekali aku menemukan jawabannya. Persis setelah guru melangkah keluar dari kelas, hampir semua anak berdiri dan memilih untuk mengekori beliau. Jam pelajaran usai berganti dengan istirahat. Ada yang mengisi waktu luang ke perpustakaan atau lapangan sekedar bermain bola, atau ke kantin bagi mereka yang kelaparan. Pelajaran kimia selama dua jam membuat perut-perut berbunyi nyaring

Aku menopang dagu kala laki-laki jangkung beranjak berdiri, menyusul yang lain keluar dari ruangan seorang diri. Iris mataku masih mengikuti langkahnya saat tiba-tiba kedua kakinya mendadak berhenti tepat di bingkai pintu. Dua wajah yang familiar malu-malu menghampirinya dan menyodorkan kotak bekal berwarna biru. Seharusnya aku sudah menduganya. Gadis mana yang tidak tertarik dengan Radja, primadona sekolah.

Sesuai namanya, lelaki jangkung beriris mata perak itu siswa baik-baik, sejauh yang aku tahu. Nilai-nilainya mendekati sempurna, keahlian berolahraganya juga tidak perlu diragukan. Dia ramah dan sikap seperti itulah yang membuat para guru terkesan dengan kesopanannya. Tambahkan juga dia anak kepala yayasan sekolah ini, artinya dia kaya. Reputasinya mulus tanpa cela. Bukankah wajar jika adik-adikku menyukainya?

"Tapi rumor tentangnya juga tidak seindah yang kamu pikirkan, Stefan." Gadis berambut hitam legam itu menarik kursi di sebelahku, mengikuti arah mataku yang tadi sempat menatap Radja yang kini sudah menghilang di balik bingkai pintu, seolah tahu aku sedang memikirkannya. Radja menerima kotak bekal dari Si Kembar dan pergi entah kemana, begitu pula mereka berbalik arah berjalan ke suatu tempat dengan ekspresi---entahlah bahagia?

"Regi benar, Fan. Aku pernah memergokinya sedang berantem dengan banyak orang di belakang sekolah." Menyusul laki-laki dengan rambut di penuhi gel memutar bangku di seberangku, setuju dengan perkataan gadis di sebelahku. 

Mereka Regillia dan Luffi. Sepupu juga sahabat laknatku. Dua orang yang selalu bersamaku semenjak memasuki sekolah menengah. Kenal betul seluk belukku, begitu juga aku yang sudah memahami mereka. Mereka tahu aku suka berbetah diri di kelas, jadi mereka menghampiri sesaat lalu.

Regi menyodorkan roti yang ia bawa dari rumah kepadaku, tak lupa pada Luffi. Aku mulai tertarik obrolan ini. Seorang Radja berantem?

"Dia pernah beberapa kali terlibat perkelahian, entah siswa sekolah kita atau sekolah lain. Sepertinya tidak sedikit yang memusuhinya." Regi menimpali di sela-sela mengunyah roti.

"Radja juga perokok tapi diam-diam menyembunyikannya. Siapa sih yang ingin imagenya hancur?" Luffi mengangkat bahu. Roti ditangannya habis, meminta lebih pada Regi yang langsung dihadiahi pelototan gratis. Walau begitu tetap dikasih.

"Dia tidak pernah pandang bulu dalam hal berkelahi." Regi menceletuk. "Termasuk pada perempuan." Kini aku dan Luffi sempurna menolehnya. Ekspresi terkejut tercetak jelas di wajah kami. Kalau memang yang disampaikan dua makhluk ini benar, sudah cukup buruk gosipnya. Memukul gadis itu tindakan yang keterlaluan. 

Mungkin itulah mengapa anak laki-laki di kelas langsung gemetar saat berhadapan langsung dengannya. Juga menjadi alasan mengapa tidak ada yang mau mendekatinya. Banyak yang takut.

Ah, tapi kan seperti kata Regi tadi, itu hanya rumor. Bukannya aku tak percaya tapi kita tidak boleh menghakimi orang lain hanya karena kabar burung, kan?





WTF=Way To FreeWhere stories live. Discover now