Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✥
Seorang pemuda dengan surai hitam menutupi sebelah matanya masuk kerumah Akaashi tanpa permisi. Napasnya memburu. Pakaiannya yang sedikit basah menyisakan jejak-jejak air di setiap tempat yang ia pijaki.
"[Name] kamu ada di sini, sayang?" Suara si pemuda mengudara di seisi rumah.
Netranya bergerak sigap menjelajahi setiap sudut rumah Akaashi Keiji. Langkahnya tergesa, meninggalkan suara deritan yang beradu dengan pijakan kayu. Mengusik ketenangan si tuan rumah.
Akaashi mendengkus. Baru akan menyelami alam mimpi namun semuanya menjadi kandas. Dengan tidak rela pemuda itu meninggalkan kelembutan sofa kesayangannya. Netra abu kebiruan Akaashi menatap gusar si pemuda yang terus mondar-mandir dengan lancang.
Penampilan Kuroo jauh dari kata rapi bisa di bilang sangat berantakan. Bajunya basah, rambutnya lepek, pun terdapat lingkaran hitam di bawah matanya, serta wajah yang sedikitnya pucat seperti mayat. Mengerikan.
Akaashi Keiji mengehela napas, merenungkan segala dosa-dosa yang ia perbuat lantaran terus-menerus bersingungan dengan jaring-jaring takdir kakak beradik Tetsuro dalam keadaan tak menyenangkan.
"[Name] ada di kamarku, Kuroo-san. Ia baru terlelap saat fajar," ujar Akaashi menghentikan tingkah gaduh Kuroo.
Kuroo memicingkan matanya. "Kenapa tidak bilang dari tadi?!" Tuturnya jengkel.
Akaashi mentap datar senpainya, enggan meladeni lebih jauh. Energinya cukup terkuras. Pikirannya pun masih berantakan belum terorganisir pada hakikatnya.
Langkah Akaashi menuntun Kuroo menuju sang adik. Pemuda itu menghembuskan napas lega melihat sang adik terbaring dengan pulas. Tangannya mengusap puncak kepala [Name] penuh sayang.
"Syukurlah, kamu baik-baik saja."
Netra si pemuda kian meredup, mendapati kondisi adiknya yang mengenaskan ada bekas jejak air mata di sana. Suhu tubuhnya pun sedikit lebih hangat.
Akaashi baru akan membuka mulutnya ketika Kuroo lebih dulu melontarkan pertanyaan dengan suara getir.
"Yah," jawab Akaahi berat.
"[Name] phobia gelap, dan itu kesalahanku sebagai kakaknya."
✥
Tangan [Name] mengapai-gapai udara kosong. Pandangan sang gadis kabur, melebur dengan gelap yang menyelimuti ruang penguji adrenalin.
Wahana Rumah hantu menjadi tempat di mana berkumpulnya segala jenis makhluk tak nyata yang direalisasikan oleh para manusia.
Kuroo terkekeh, adik kesayangannya sedang panik mencari-cari keberadaan dirinya yang tiba-tiba menghilang. Pemuda itu pikir tidak ada salahnya mengerjai [Name] yang penakut, lagi pula adiknya itu sudah menginjak usia dua belas tahun, bukan usia kanak-kanak lagi.
[Name] mulai gemetar, benaknya di penuhi bayangan imajiner yang tak semestinya. Udara di sekitar [Name] mendadak dingin. Bulu-bulu halus tubuhnya meremang memberi sinyal bahaya pada saraf otaknya.
Suasana hening yang menyelimuti, mendadak gaduh oleh suara-suara mistis. Lampu-lampu remang, sesekali berkedip memberi kesan mistis.
Benak [Name] kian merumit dengan segala spekulasi. Kendati remang-remang cahaya perlahan menampilkan sosok imajiner dalam benaknya secara nyata. Gadis itu mengerjap berkali-kali, barang kali hanya halusinasi. Bibirnya digigit kuat-kuat berusaha tetap sadar.
Ada banyak dari mereka yang bergerak mendekat ke dalam jangkauan [Name]. Napas sang gadis memburu, sesekali tersendat menyakitkan akibat panik. Sungguh wujud yang ia lihat jauh dari kata elok.
"Jangan mendekat," teriak [Name] sengau. Air matanya turun tanpa bisa ia tahan. Ketakutan sudah mengambil alih tubuhnya.
Kuroo yang bersembunyi semakin terbahak melihat respon sang adik yang teramat menghibur. Wajahnya begitu ketakutan saat hantu-hantu bohongan itu mendekatinya.
Kuroo pikir respon takut sang adik adalah hal yang lumrah seperti manusia pada umumnya. Pemuda itu tak mengetahui ketakutan sang adik berada pada kadar yang lebih tinggi. Itu pun semuanya karena perilaku usilnya yang senang menakuti sang adik sedari kecil.
Hingga pemuda itu terpaku. Lidahnya kelu, bersama teriakan histeris [Name]. Adiknya itu terkulai dengan lemas di lantai setelah jatuh tak sadarkan diri.
Segalanya terjadi secepat kilat. Yang Kuroo tahu sebelah kaki sang adik memiliki bekas bercak darah yang melingkar, itu pun ia baru menyadari saat mobil ambulan membawa mereka menuju ke rumah sakit.
Sebenarnya [Name] sempat sadarkan diri. Hanya saja setelahnya, ia kalap meracau tak jelas dan tak sadarkan diri kembali sebab napasnya yang tersendat. [Name] mengalami syok berat.
✥
"[Name] lebih percaya padamu. Jadi, kumohon padamu untuk sedikitnya menolong [Name] agar kondisinya lebih stabil."
"Semua itu tergantung [Name]. Aku tak akan memaksanya kalau dia tak ingin."
"Yah, kupercayakan padamu. Aku sudah berusaha sebisaku, namun selalu gagal. Sepertinya kehadiranku menyisakan trauma tersendiri padanya. Padahal sudah lima tahun berlalu sejak hari itu."
Akaashi mengusap wajah kesar. Percakapan terakhirnya dengan Kuroo menyisakan sebuah tanggung jawab yang pria itu bagi, sebab tak sanggup menyelesaikannya seorang diri.
Sejujurnya, Akaashi tak pernah melihat Kuroo yang emosional. Jadi saat pemuda itu menunjukannya sukar bagi Akaashi untuk menolak.
Memejamkan mata, Akaashi mulai menguraikan permasalahan yang ia hadapi. Otaknya mengolah data yang ada menjadi sebuah hipotesa berupa kemungkinan dan resiko yang harus ia hadapi. kemudian, merumuskannya dalam langkah-langkah yang akan ia lakukan.
Sudut bibir Akaashi sedikit terangkat. Layaknya fajar yang hadirnya setelah gelap. Akan selalu ada harapan menuju sebuah cahaya.
Pemuda itu telah mendapatkan benang merah diantara sekelumit kemungkinan yang ada.