Part 12

819 98 20
                                    

Ketika kamu mulai meragu
***

Dimas baru mengeluarkan motornya dari garasi. Seperti biasa, ia akan menjemput Mora untuk berangkat bersama. Getaran di ponselnya membuat cowok itu berdecak. Ia memakai helmnya dengan cepat lalu membuka chat yang masuk.

Kesayangan Dimas: Depan kompleks
Kesayangan Dimas: Gk bakal berangkat kalau gk dijmput

Cowok itu menghembuskan nafas berat. Akhir-akhir ini sepupunya bersikap menyebalkan. Bisa saja ia mengabaikannya, tapi konsekuensinya Febi tidak akan berangkat ke sekolah karena keinginannya tidak dikabulkan.

Dimas menyerah, entah harus bagaimana agar Febi mau bersikap dewasa. Sepupunya pasti sengaja agar dirinya tidak menjemput Mora. Sayangnya Dimas tidak bisa mengabaikan hal tersebut. Ia kemudian mengirimkan chat pada Mora disertai permohonan maafnya. Jujur saja ada perasaan tidak enak yang mengganjal, padahal yang seharusnya terjadi, Dimas membiarkan saja cewek itu menunggu, mempermainkannya hingga terluka. Namun, ia tidak bisa karena ada yang memberontak dalam dadanya.

Melajukan motornya, Dimas tak membutuhkan banyak waktu karena letak kompleks perumahan mereka tidak terlalu jauh, bahkan hanya membutuhkan lima menit untuk berjalan kaki. Tak jauh darinya, ia melihat Febi sedang menunduk dan menghentak-hentakan kakinya.

Menyadari kedatangannya, raut wajah cewek itu berbinar seketika. Berbeda dengan Dimas yang malah mendengkus.

"Naik!"

Febi mencebik, "Gak ikhlas banget sih!" dumelnya mendudukan badan dan melingkarkan tangan ke pinggang Dimas. "Kesel gara-gara gak jadi jemput pacar bohongannya?"

"Bi!" Dimas berkata dengan nada tinggi, jelas Febi terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca, selama ini Dimas tidak pernah membentak semenyebalkan apapun dirinya. Ia melepaskan pegangan dan turun, lebih baik naik kendaraan umum daripada diantar oleh orang yang merasa terpaksa.

"Mau ke mana?" tanya cowok itu dengan raut wajah tak enak dipandang. Febi tahu, Dimas sedang kesal gara-gara tidak bisa pergi dengan Mora, tapi apakah harus membentaknya? Ia hanya bertanya sesuai dengan kebenaran yang ada.

"Kak Dimas bentak gue cuma gara-gara dia," gumamnya berusaha tidak menangis. Ayolah, mereka bersama bukan satu dua tahun, tapi bisa dibilang seumur hidup. Sekarang karena cewek itu, Dimas menyakitinya. "Padahal gue cuma tanya. Emang bener 'kan kalian cuma pacar bohongan? Terus kenapa harus marah?"

Melihat kesenduan di mata sepupunya, Dimas seketika merutuki dirinya. Cewek yang mati-matian ia jaga selama ini, malah ia sendiri yang melukainya dan itu disebabkan oleh hal yang Dimas sendiri tidak mengerti. Gagal menjemput Mora malah membuatnya resah.

Bagaimana kalau rencananya hancur hanya karena hal sepele seperti ini? Bagaimana kalau cewek itu pergi dengan Rijal? Bag- Argh! Gue gak seharusnya kelabakan kayak gini. Dimas mengusap wajahnya kasar, kemudian meraih tangan Febi. "Maaf ya?"

Febi membuang muka.

"Ebi, maafin bang Dimdim ya?" Memang seharusnya Dimas bersikap lembut untuk meredakan amarah Febi. "Janji deh entar istirahat dibeliin bakso pedas sama thai tea kesukaan lo."

Cewek itu tampak berpikir sesaat sebelum mendengkus kecil dan menatapnya. "Janji?"

Dima mengangguk, "Iya, iya. Senyum dulu dong!"

"Udah nih!" Febi memaksakan senyum.

"Kurang lebar!" ucap Dimas hendak menggapai wajahnya. Namun, Febi segera mundur dan melakukan apa yang diminta. "Puas?"

Dimas terkekeh, merasakan sedikit lega. Karena sisanya ia masih mengingat Mora.
***

Mora merasa sedikit kecewa saat tahu kalau orang yang ditunggunya tak jadi datang. Katanya Dimas harus menjemput Febi. Mengingat sepupu cowok itu selalu membuatnya merasa kurang nyaman. Entah apa kesalahan yang ia buat karena setiap mereka tak sengaja berpapasan, Febi selalu melengos padahal ia berniat melemparkan senyum.

Let's Break Your Heart! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang