Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10. Baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com.
***
"Apa yang menurutmu lebih indah dibanding rumah?"
"Ha? Apa maksudmu?"
Kedua pelajar muda itu sedang duduk berhadapan di meja makan penginapan yang memiliki pemandangan yang indah. Tanpa menjawab pertanyaan kawannya, dia menatap keluar ke jendela, di mana sinar bulan yang kebiruan seperti warna jubah seragam yang mereka kenakan menerangi pergunungan yang melanjung tinggi, dengan putihnya salju menghiasi tiap puncak gunung-gunung itu. Hawa sejuk dapat mereka berdua rasakan meski kristal-kristal penghangat berwarna jingga yang menjadi hiasan tembok penginapan menerangi suasana makan malam mereka berdua.
"Kalau dipikir-pikir, pemandangan ini juga indah. Aku sendiri belum pernah ke Lembah Rhea Utara sampai kau mengajakku untuk ikut menemanimu, terima kasih."
"Tapi apa ini lebih indah dibanding rumahmu, Mion?"
Pelajar yang bernama Mion itu tertawa kecil mendengarnya, tawaan yang terkesan tidak serius itu membuat kawannya kembali menatap kepadanya.
"Bagaimana itu bisa dibandingkan? Itu dua hal yang berbeda."
"Berbeda seperti apa?"
Mion mulai berpikir, dagunya ditopang oleh kedua tangannya dan dahinya mengrinyit, "Jelas, pemandangan yang ada di sini lebih indah dibanding daerah tempat rumahku berada, kau tahu kalau kasta bawah sepertiku tinggal di tempat-tempat yang bahkan jarang mendapatkan sinar bulan."
Pelajar muda itu mengetuk-ngetukkan kuku telunjuknya yang panjang di atas meja, salah satu simbol penanda kasta bangsawan miliknya yang dapat terlihat dengan jelas. Kepalanya dimiringkan dan ditopang oleh tangannya di atas meja, tatapannya kembali kosong, mengarah ke gelas teh miliknya, "Tapi?"
"Tapi perasaanku saat berada di rumah, saat bersama dengan keluarga dan teman-temanku, itu tidak kalah indahnya dengan pemandangan ini."
Melihat ekspresi kawannya, Mion langsung bisa merasa kalau jawabannya masih kurang begitu memuaskan rasa ingin tahunya. Kawannya yang satu ini memang orang yang sulit dimengerti, angkuh tapi penuh rasa ingin tahu, tidak jauh beda dari stereotip kaum bangsawan pada umumnya.
Kalau dipikir-pikir, aneh orang seperti dirinya yang berasal dari kasta bawah, bisa memasuki akademi yang sama dengannya, lalu kemudian menjadi sahabat sekaligus orang kepercayaannya. Bahkan sampai mengajaknya ikut dalam perjalanannya ke Lembah Rhea Utara, dan menanggung semua biaya perjalanan. Mion berkesimpulan kalau kawannya hanya butuh lawan bicara selama perjalanan ini berlangsung.
"Maaf kalau aku membuatmu bingung, Mion" katanya sambil meminum teh hangat dari gelasnya, "Itu memang sebuah pertanyaan yang aneh."
Mion kembali tertawa mendengarnya, membuat pelajar muda itu juga ikut tersenyum.
"Tidak apa, aku sudah tahu itu akan sering terjadi kalau aku bersamamu."
Mereka berdua tertawa sejenak sebelum keduanya sama-sama terdiam lagi, membiarkan tiupan udara dingin berlalu di antara keduanya tanpa sepatah kata apapun.
"Memangnya, kenapa kau bertanya tentang keindahan rumah dibanding lainnya?" tanya Mion yang ingin menghilangkan kecanggungan antar keduanya, "Apa ini ada hubungannya dengan tugas akademi kita? Kukira itu alasan kenapa kita datang kemari ke lembah ini..."
Kali ini Mion yang melihat raut bingung di wajah kawannya, seakan dia mempertimbangkan apa yang menjadi jawaban yang keluar dari mulutnya, menutupi alasan sebenarnya kenapa dia bertanya demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
LCPD X - Homes and Other Sadness
FantasiaKetika dua orang pelajar sedang berkelana jauh dari rumah mereka masing-masing, mereka mulai mengingat-ingat tentang rumah-rumah yang mereka pernah lihat, dan berbagai cerita di dalamnya.