SATU - Gadis Bernama Ningsih

23 2 2
                                    

Seringkali kemuliaan seorang wanita, ada pada kesederhanaannya.

Ningsih melipat mukena, membungkusnya dengan sajadah, lalu ia taruh di atas meja kecil di pojok ruangan. Sebelum keluar, disempatkan menengok cermin membenarkan letak jilbab lebarnya.

Saat melihat Ningsih sudah keluar dari ruang karyawan, Siti yang sibuk dengan ketikannya lekas berkata, "Mbak Ningsih, ada yang mau ngetikin tapi ditunggu. Sempat, kan, Mbak? Garapanku lagi diburu harus kelar hari ini."

"Banyakkah?"

"Katanya, sih, cuma selembar."

Ningsih lekas mendekat ke meja panjang pembatas ruang kerja dengan tempat pengunjung menunggu. Tampak duduk seseorang berambut sebahu. Sepintas Ningsih kira perempuan, ternyata seorang lelaki muda. Cowok berambut gondrong, mengenakan kaos biru berkerah.

"Mbak, mau ngetikin, selembar saja kok. Saya tunggu bisa, kan?" Cowok gondrong itu mengangsurkan selembar kertas yang langsung diterima Ningsih.

Ningsih melihat tulisan pada kertas itu. Sebuah tabel jadwal. Jadwal kajian remaja masjid. "Sebentar, ya, Mas. Insya Allah bisa, kok, ditunggu," jawab Ningsih yang lekas duduk di kursinya, menghadap layar monitor komputer 14 inchi, yang selalu setia menemani hari-harinya mengerjakan setiap orderan ketikan dari pengunjung.

Tidak menunggu lama, ia sudah membuka new page Microsoft Word, mengatur ukuran kertas, dan mulai mengetik di keyboard, sesuai apa yang tertera di kertas yang diserahkan si cowok berambut gondrong.

Mengetik alamat masjid, Ningsih tiba-tiba teringat sesuatu. Pernah suatu malam, belum lama ini, ada dua ikhwan dari Dukuh Wayah, bertamu ke rumahnya. Dua tamu itu menemui Rahmad, kakaknya, untuk menyetor dana iuran kegiatan Badan Koordinasi Taman Pendidikan Alquran atau biasa disingkat Badko TPA, tingkat kecamatan, yang kebetulan sang kakak adalah pengurusnya. Tidak salah lagi, satu dari dua tamu itu adalah cowok berambut gondrong ini.

Tidak butuh waktu lama, tarian cekatan Ningsih di atas keyboard komputer, menuntaskan jadwal yang diketikkan si cowok berambut gondrong.

"Di-print berapa lembar, Mas?" Ningsih bertanya sambil menoleh ke arah cowok berkaos biru. Agak tercekat ternyata cowok itu tengah memandang ke arahnya. Hanya sedetik bertemu tatap, ia lekas mengalih pandangan. Hal sama dilakukan si cowok berambut gondrong.

"Eh, jadikan lima lembar boleh, Mbak," jawab si cowok segera. Ada sikap agak sungkan yang Ningsih tangkap. Apa cowok ini tadi memang tengah memandanginya?

Ningsih membuang jauh pertanyaan batinnya yang sangat tidak bermutu itu. Ia memilih sesegera mungkin mencetak orderan ketik si cowok gondrong. Meski hati kecilnya merasa agak risih juga. Ningsih sempat membatin, ikhwan kok rambutnya dipiara gondrong begitu. Lekas ia beristigfar, menyadari ketidakpantasannya menilai penampilan orang lain. Kenal juga tidak, buat apa juga memedulikannya. Geli sendiri Ningsih pada pikirannya yang aneh.

Selesai sudah orderan ikhwan gondrong itu. Segera dimasukkan kertas hasil cetakan ke dalam plastik. Lalu mendekati meja. "Ini, Mas," ucapnya sambil menaruh orderan di atas meja.

Cowok berambut gondrong itu menerima hasil ketikan Ningsih, membayar sesuai nota, lalu beranjak pergi. Ningsih sudah tenggelam lagi ke orderan ketikan yang masih menumpuk, saat cowok itu men-starter motornya.

***

Sam mengendarai motornya dengan santai. Ada yang sedang kebat-kebit di hatinya. Teringat pembicaraannya dengan Sidik, sahabatnya, di suatu malam. Ketika keduanya pulang dari Dukuh Kedung, tempat tinggal Rahmad, salah seorang pengurus Badko TPA tingkat kecamatan. Ia dan Sidik menyetor dana iuran kegiatan kepada Rahmad selaku koordinator.

Samara KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang