EMPAT - Biar Buku Bicara

8 1 0
                                    

Buku-buku ini berbicara. Berbicara tentang rasa.

Sam dan Ningsih beberapa kali saling berkirim pesan dari telepon genggam masing-masing, meskipun hanya bertanya hal-hal sepele.

“Suka baca buku tidak, Ukh?” tanya Sam suatu kali, tentu lewat SMS.

“Ya, iseng saja kalau pas ada waktu.”

“Suka baca buku apa?”

“Apa saja.”

“Punya koleksi banyak dong? Boleh ana pinjam?”

“Kalau ana hanya punya beberapa. Selebihnya pinjam-pinjam saja punya kakak atau teman. Antum punya banyak buku?”

“Ada sih, lumayan. Bolehlah kita tukar pinjam bukunya. Ana antarkan buku ke tempat kerja Ukhti, tapi jangan lupa bawakan buku Ukhti buat ana pinjam.”

“Tunggu. Ana cek dulu buku yang ada. Nanti ana SMS judul-judulnya. Kalau antum sudah pernah baca, kan percuma ana pinjamkan.”

Tidak lama kemudian, keduanya saling mengirim judul buku. Memastikan mana yang akan dipinjamkan besok siang. Akhirnya, keduanya sepakat akan saling tukar masing-masing 4 judul buku.

Sam kemudian menimang sebuah buku. Kumpulan cerita pendek islami yang tertera namanya sebagai penulis. Tapi bukan buku cetakan penerbit manapun, hanya hasil karya Sam yang diketiknya, diprint dan dijilid sendiri, dengan sampul buatan salah satu temannya.

“Ana tambahi satu buku kumpulan cerpen buatan ana sendiri, jelek sih tapi tidak apa ya. Sekalian nanti minta kritik dan sarannya agar ana bisa nulis lebih baik lagi.”

“Subhanallah, antum bisa nulis cerpen? Bolehlah, nanti ana baca.”

Deal. Keduanya sepakat bertemu esok hari di tempat kerja Ningsih untuk bertukar buku.

***

Siangnya, Sam menyempatkan ke tempat kerja Ningsih. Kursi tempat Ningsih duduk depan komputernya kosong. Hanya ada Siti, teman kerjanya yang juga seorang jilbaber, sedang melayani pengunjung yang memfotokopi sesuatu.

Setelah pengunjung itu selesai dan membayar fotokopiannya, Siti mendekati cowok berambut gondrong itu. “Mas, mau ketik atau fotokopi?”

“Tidak, kok, Mbak. Mau antar buku. Mbak Ningsihnya ada?” tanya Sam segera.

“Mbak Ningsih lagi keluar. Mau menunggu?”

“Oh, kalau begitu nitip saja. Ini buku yang mau dia pinjam,” kata Sam sambil menaruh beberapa buku di atas meja, yang langsung disambut teman kerja Ningsih itu dengan sigap.

“Wah, bukunya seru kayaknya. Aku juga boleh pinjam, kan?”

Sam tersenyum. “Tentu boleh, silakan.”

Sam menoleh ke dekat komputer Ningsih. Dilihatnya beberapa buku tertumpuk di situ. “Itu buku Mbak Ningsih yang mau dipinjamkan ke saya, ya?” tanya Sam.

Siti segera menoleh arah Sam memandang. Diambilnya buku-buku itu. Kemudian kembali ke depan Sam. “Rupanya kalian janjian saling pinjam buku, ya? Wah, wah, tak kusangka!”

Sam hanya tersenyum menanggapi kata-kata dengan nada menyindir dari gadis berjilbab itu. “Syukurlah, aku jadi punya bacaan baru tiap hari,” katanya berbinar.

“Mbak suka baca juga?” Sam bertanya.

Dia mengangguk. “Buat ngisi waktu kalau pas kosong.”

“Ya sudah, Mbak. Kalau begitu, bukunya saya pinjam, ya?”

“Iya. Bawa saja, nanti aku bilang ke Mbak Ningsih.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Samara KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang