Malam ini semuanya masih sama, kendaraan masih berlalu-lalang tak peduli hari semakin malam kendaraan roda dua dan roda empat itu masih terus bergerak melaju bahkan tidak peduli dengan insan di tepi jalan yang tergerogoti oleh pemikiran jahat yang memenuhi otaknya.
Ia baru berjalan sekitar lima puluh langkah, tetapi tubuhnya terasa sangat penat seolah telah berlari berkilo-kilo meter. Kelap-kelip lampu jalan yang temaram seolah mengambarkan hidupnya yang tidak selalu terasa hidup, terkadang terdapat galat yang membuatnya berkelap-kelip bahkan terasa mati.
Ia berhenti sesaat di bawah lampu jalan itu, ia terlalu lelah untuk menjangkau ujung jalan ini sekarang. Maniknya melirik sekitar, tangannya berpegangan pada pegangan yang ada di pinggir jalan. Jauh matanya memandang, ia menemukan warna-warni lampu yang keluar dari gedung-gedung megah nan mewah, sangat berbeda dengan kelap-kelip lampu jalan di sisinya yang temaram.
Kepala itu tertunduk matanya terpejam, menepis pemikiran buruk yang bisa jadi akan menjatuhkannya sekarang. Ia lelah dan beban ini semakin membuatnya merunduk, seperti lampu jalan yang iri dengan gemerlap lampu yang terpasang pada lampu gedung penuh warna-warni itu, ia juga ingin terlihat bersinar lebih terang dan berwarna. Tanpa sadar, ia terlalu memaksakan dirinya.
Lampu jalan itu semakin meredup tetapi mobil-mobil itu tidak berhenti, jarum jam itu tetap berputar, angin itu tetap bergerak sesuai keinginannya, dan cahaya bulan itu tetap berpendar. Tidak ada yang peduli dengan lampu jalan yang meredup, karena setiap orang memiliki lampu mereka tersendiri untuk menerangi kegiatan mereka.
Lantas, untuk apa lampu jalan ini ada jika pada akhirnya tetap tidak ada yang memperdulikannya?
“Wah, lampu jalan ini akan mati ya sepertinya?”
Hening. Ia terkesiap mendengar lontaran pertanyaan yang entah dari mana datangnya, kepala yang menunduk itu perlahan terangkat mencari sumber penghilang kesendiriannya. Seseorang yang asing dengan tangan membawa sebuah plastik besar berdiri di depan lampu jalan, orang asing itu tidak menatap ke arahnya tapi justru menatap bola lampu milik lampu jalan yang hampir mati.
“Ah, kalau tidak dibetulkan pasti akan mati. Pasti jalanan ini akan gelap.”
Netranya melihat apa yang dilakukan orang asing itu, tangan si orang asing yang semula membawa plastik kini bergerak membuka kotak yang ada di bagian paling bawah lampu. Entah kotak apa, mungkin sumber tenaga lampu jalan itu. Plastik besar yang entah apa isinya diletakan dekat kakinya. Tapi, Ia tidak peduli apapun yang dilakukan orang asing itu. Mau diapakan juga pada akhirnya lampu itu akan mati. Mungkin bisa hidup, tapi pasti tidak akan bertahan lama.
“Wah, ternyata pengisi dayanya sedikit rusak. Pantas saja lampunya lebih redup dari yang lain.” Monolog orang asing itu, karena Ia tidak pernah berniat mendengarkan ujaran orang asing yang cukup aneh itu.
“Lampu jalan ini memang sudah agak tua, jadi kalau rusak harus diberi sedikit perhatian. Atau mungkin banyak ya, rusaknya cukup parah ternyata. Berdebu sekali isinya,” informasi itu dilontarkan lagi oleh bibir si orang asing padahal tidak ada yang bertanya.
Ia tidak peduli, tapi maniknya sesekali mencuri pandang pada aktivitas orang asing yang mengutak-atik kotak sumber daya lampu ini. Kemudian kembali acuh, dia hanya orang asing yang membetulkan lampu taman. Begitu yang Ia ujarkan daam hatinya.
“Aku hanya harus memberi sedikit dia perhatian, kemudian diisi daya. Dan tara!”
Lampu jalan yang semula redup tiba-tiba bersinar cukup terang, kepalanya terangkat menatap lampu jalan yang sedari tadi terasa suram kini memendarkan cahayanya. Tidak seterang bulan, tidak segemerlap lampu warna-warni, tapi mampu menyinari jalanan yang gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Streetlight
Short Storyjust a short story about someone who has thought on the head under the streetlight. ' inspired by stray kids's seo changbin masterpiece. ' a short story ' cover pict from pinterest ' mei 19th, 2020