8. Takut

4.5K 396 43
                                    

"Kok, lo sakit sih, Jes? Gue kesepian tadi di sekolah." adu Ara sambil merengut sedih. Tangannya menarik-narik selimut Jessi untuk mendapat perhatian gadis itu. "Jessi, lo masih napas, kan?"

Jessi mengerang malas, tapi masih enggan memunculkan eksistensinya dari balik selimut. Dia sakit karena terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak soal Ara, dan sekarang ia tambah meriang karena Ara datang menjenguknya sepulang sekolah. Apa Ara tidak kasihan pada hati Jessi yang sudah tidak berbentuk?

"Makanya, kalo diajak ngobrol itu, lihat balik orang yang ngomong. Kalau gini mah namanya komunikasi satu arah."

Jessi semakin meringkuk di dalam selimut. "Males. Gue pusing. Pulang aja sonoo."

"Buset, gue datang dengan niat baik malah diusir." namun, bukan Ara kalau dia tidak keras kepala. Gadis itu tersenyum iseng dan menarik selimut yang menutupi wajah Jessi. "Hai, manis."

"Ra, minggir ah." Jessi mengambil alih selimutnya dengan kasar dan kembali menyembunyikan diri.

Ara malah terkekeh tanpa dosa. "Kenapa lo jadi aneh, deh, akhir-akhir ini?"

"Gara-gara lo-" Jessi seketika terbeliak di dalam selimut. Ia memejamkan kembali matanya dengan pasrah sambil merutuki diri. Bisa-bisanya ia keceplosan di depan Ara.

"Hm?" beruntung Jessi, tampaknya telinga Ara terlalu bebal karena keseringan menggunakan earphone jadi ia tidak mendengar dengan jelas. "Kenapa tadi?"

Dan untuk kali pertama selama enam belas tahun hidup, Jessi bersyukur punya teman rada budeg macam Ara. "Karena semakin lama gue sadar kalo gue males ngapa-ngapain, termasuk ketemu lo." ralat gadis itu.

"Dih, kok lo jahat?" Ara mendekati Jessi lagi dan menarik selimut di wajahnya. Sebuah senyuman memelas lalu terbit menarik perhatian di muka Ara. "Lo sebenernya sayang gue kan?"

Jessi berdecak pelan nyaris tak terdengar. Iris cokelatnya yang semula tertambat pada Ara kini berotasi untuk memutus kontak mata. "Jangan ganggu ah, gue pusing beneran ini."

Ara meletakkan telapak tangannya di kening Jessi, membuat gadis itu tersentak kaget akan pergerakan tidak terduga yang Ara lakukan. Ara membalas tatapan Jessi dan mengerutkan kening. "Lo juga demam, Jes. Udah minum obat, belum?"

Jessi terpaku sebentar. Tapi tidak butuh waktu lama untuk ia kembali menguasai diri. Jessi mendorong mundur wajah Ara yang terlalu dekat. "Udah. Lo tenang aja."

"Bagus." Ara mengangguk percaya. Ia lalu menarik diri, membuat Jessi akhirnya bisa bernapas lega begitu Ara membuat jarak. Ara meraih tasnya kemudian menatap Jessi lagi. "Gue balik dulu, ya. Kalo udah baikan telpon gue."

Ara membuat isyarat telpon dengan tangannya dan mengedipkan sebelah mata. Detik itu juga, pertahanan Jessi kesemuanya luruh. Sial.

•••

Fiony menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dan membuang napas. Gadis itu sedikit menyesal mengikuti perekrutan pengurus OSIS tahun lalu, siapa sangka pekerjaannya akan sebanyak ini. Sebentar lagi sekolah mereka akan mengadakan pameran pendidikan dengan mengundang beberapa universitas dan sekolah ikatan dinas, jadi para pengurus inti termasuk Fiony, lumayan sibuk akhir-akhir ini.

"Dey," panggil Fiony. Ia menoleh ke tempat Dey duduk lalu menatap malas temannya yang tengah melamun sambil menggigit ujung pensil. "Dhea Angelina."

"Eh, hah?" Dey tersentak sampai kacamatanya merosot ke hidung. "Apa? Kenapa? Rapatnya udah selesai, ya? Wah, ayo balik."

Fiony menahan tangan Dey yang hendak beranjak. "Rapatnya memang udah selesai dari lima belas menit yang lalu, kamu gimana sih? Tapi sini dulu, bantuin aku buat proposal."

AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang