Prolog

676 50 8
                                    

Keadaan yang tidak terduga, bahkan tidak pernah gadis itu pikirkan barangkali sedetik saja sudah terjadi kini. Debaran jantung yang anomali, bulir keringat dingin, dan mata membeliak lebar melihat semua kejadian di depan netranya. Layaknya putaran film dipercepat duakali. Begitu cepat.

Bau anyir. Pengap. Banyaknya tumpukan manusia tak bernyawa serta perpotongan tubuh yang sudah lama disimpan di ruangan bawah tanah. Perutnya seolah-olah diaduk dengan sekopㅡmual.

Sepasang netranya terangkat ketika menyadari presensi lainㅡbegitu hidup namun jelas di kedua matanya begitu kosong, hampa. Menemukan dirinya meringkuk dibawah meja, kemudian wajah kaku itu berubah menjadi hangat. Senyuman yang dulu seringkali ia umbar, menatapnya begitu berbinar-binar. Sangat kontras apa yang sudah pemuda itu lakukan beberapa menit yang lalu.

Tangan berotot itu terulur, menggenggam tangan si gadis untuk membawanya keluar dari persembunyiannya sejak dua jam lalu. Menyaksikan semua pekikan mohon ampun dan suara lembek aneh tengah mengoyak isi tubuh tumpukan manusia tersebut. Merah. Telapak tangan itu masih dilumuri darah yang mulai mengering. Dan, bau anyir semakin kuat di indera penciumannya, memancing rasa ingin muntah namun sebisa mungkin ia tahan.

"Kenapa kau bersembunyi di sana?" Suara lembut itu masih sama. Bahkan tanpa ragu, pemuda itu menyelipkan helaian tipis yang basah dan menghalangi pandangan si gadis. Sepasang iris legam segelap malam itu mengitari seluruh wajah si gadis. Memandangnya dengan kekaguman dan ... gairah.

Gadis itu merunduk. Mencoba menahan suaranya yang terasa berat dan akan menangis jika bersuara. Terlebih memandang pemuda yang tak pernah ia kira akan melakukan hal semengerikan ini. "A-aku ... hanyaㅡ"

Pemuda itu memotongnya, "Kau terlihat takut, Yara. Apa aksiku tadi membuatmu takut?"

"Iyaㅡmaksudku, tidak. Kau tidak membuatku takut." Berbeda dengan kalimatnya, suara gadis itu terdengar bergetar. Rasa takut, gelisah bercampur menjadi satu. Dan untuk pertama kalinya, ia memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan nyawanya kali ini.

"Kau benar." Pemuda itu tersenyum, lalu melangkah mendekati si gadisㅡmempersempit jarak dan merundukkan wajahnya agar setara dengan si gadis. Mengabaikan rasa takut yang terpancar jelas di sepasang netra gadis itu. "Aku tidak pernah menakutimu, dan sebaliknya."

"Lagipula, kau mencintaiku, bukan?"

Dagu Yara terangkat bersamaan jemari panjang milik pemuda itu menariknya untuk mendongak. Memaksa sepasang iris untuk saling menatap dengan pancaran berbeda. Takut dan penuh gairah. Bulir keringat semakin deras untuk turun. Gadis itu begitu takut sekarang.

"Jawab aku, Yara." Pemuda itu membasahi bibirnya dan menarik wajah Yara mendekatinya. "Katakan padaku, kau memang mencintaiku. Bukankah itu yang selalu kau katakan padaku? 'Jungkook, aku mencintaimu. Mari hidup bahagia bersama' kau tidak lupa ucapan yang kau ucap dua pekan yang lalu, 'kan?"

Kilatan sekilas terlihat di netra pemuda itu yang berhasil membuat Yara takut. Namun sedetik kemudian, cengkraman di dagu si gadis semakin kuat. Membuat Yara meringis menahan perih. "J-Junghhㅡ"

"Katakan dengan jelas bahwa kau memang mencintaiku. Kau tidak berencana untuk berkhianat, 'kan? Dan, jangan lupakan fakta bahwa nyawa adikmu itu ada di tanganku, Kim Yara."

Terpejam sejenak demi menetralkan rasa perih di dagunya, gadis itu mengangguk pelan. Berhasil menerbitkan seulas senyum lebar yang dulu begitu terlihat menggemaskanㅡkini terlihat menyeramkan dengan netra yang berkilat di wajah pemuda itu.

Jeon Jungkook.



• • •

• • •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[M] Play Date Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang