Bab 1

86 55 80
                                    

---------------------

Arlian POV

---------------------

"Happ.." untuk yang ke tiga kalinya bola basket itu masuk tepat di ring yang tingginya 2x lipat di atas ku. Anak itu sangat pandai memainkannya. Tapi, sepertinya dia baru di kompleks perumahan kami. Dia tersenyum saat untuk yang ke 4x nya bola itu berhasil masuk. Rintik hujan mulai turun, tapi dia tetap bergeming di tempatnya dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak pergi. Dia mengambil sesuatu di saku celana armi yang panjangnya tepat mengenai lutut. Sapu tangan. Aku melihat dia mengusap keringat yang membasahi dahinya ditambah rintik hujan yang semakin berlomba menuju tanah, dengan ragu aku mulai mendekatinya. God. Yoga pasti akan marah jika tau aku kembali kehujanan, apalagi kehujanan hanya untuk berkenalan dengan anak laki-laki itu. Yoga adalah kakak sepupuku, dia seperti kakak kandungku sendiri mungkin karena kami hanya berbeda 4 tahun, dia sangat over protektif. Perlahan aku mendekatinya.

"Hai.. kamu baru ya disini?" Tanyaku dengan ragu.

Sejenak dia menatapku. Heran mungkin itu yang ada dipikirannya.

"Hai.. iya" jawabnya sambil tersenyum dan memasukkan sapu tangan itu kembali ke saku celananya.

"Aku Arlian Yuana Mahesa" ucapku sambil mengusap tangan padanya

"Dafiandra Arland Wardhana. Dafian" dia menerima uluran tanganku, sejenak aku terkejut. Senyumnya sangat manis. Lebih manis dari martabak manis coklat keju kacang yang biasa aku dan Yoga pesan.

"Kamu orang baru?" Tanyaku lagi

"Iya, baru pindah tadi sore. Langsung kesini karena liat ada lapangan basket ya di taman ini"

"Rumah kamu yang mana?"

"Nomor 57. Kamu?"

"Oh ya? Rumah Kita sebelahan dong, aku nomor 56. Tepat disamping kamu." Ucapku tersenyum lebar, aku bahkan lupa jika rintik hujan sudah mulai membasahi sekujur tubuh kami. Sampai...

"Ara... Ya Tuhannn.. stop main hujan ya.. dasar.. kamu ngerepotin tau nggak. Kamu kemana aja sih? Kakak cari kamu dari tadi.. Mami udah marah-marah dari tadi karena kamu nggak pulang. Dasar. Nanti sakit gimana?!" Seruan Yoga menghentikan pembicaraan kami, dia bahkan tidak melihat ada orang lain di depanku. Dengan cepat menarik tangan ku untuk berteduh. Itu lah Yoga.

"Sorry. Aku nggak maksud buat Ara kehujanan" ucap Dafian merasa bersalah yang lngsung membuat Yoga menyadari bahwa ada orang lain selain kami. Dia menatap Dafian dengan lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Dafiandra. Panggil aja Fian" ucap Dafian ketika dia sadar tatapan tajam kak Yoga.

"Yoga. Kakak sepupu Ara." Jawab kak Yoga "Kita pulang sekarang, Ra. Mami udah nunggu" lanjutnya sambil menarik cepat tanganku. Aku melihat Dafiandra sejenak.

"Kita pulang sama-sama gimana? Rumah kak Fian deket sama rumah kita kak" ucapku sambil melihat mereka secara bergantian

"Boleh." Jawab kak Dafian dengan senyum manisnya. Aku menoleh ke arah kak Yoga dengan tatapan meminta.

"Oke" serunya dengan nada terpaksa yang sangat jelas terlihat. Tapi berhasil membuatku tersenyum senang.

---------------------

Dafiandra POV

---------------------

Sesampainya dirumah dan mandi kemudian bergantian pakaian, aku masih terus mengingat gadis itu. Hmm.. benar-benar manis. Aku masih mengingat senyum sore tadi. Aku tidak menyangka akan ada orang yang melihatku bermain basket karena setahuku tidak ada orang lain di tempat itu selain aku tadi. Ada daya tarik tersenyum saat aku melihatnya tersenyum, seperti ada sesuatu yang juga menarik ku untuk juga ikut tersenyum bersamanya. Aku tidak tau apa itu, bahkan rintik hujan yang membasahi tubuhku pun terlupakan karena percakapan kami. Dia berbeda. Aku sendiri tidak tau apa yang membuatnya terlihat berbeda. Putri pasti akan mengejekku tanpa henti jika tau hal ini. Putri adalah saudara kembar ku, umurnya 5 menit diatasku. Mungkin jika tidak ada si pengacau itu.. ahh.. Yoga maksud ku, kami tidak akan beranjak pergi dan tetap menikmati rintik hujan berdua. Dan baru kali ini. Rintik hujan terasa sangat menyenangkan bagi ku.

"Yan... Lo kenapa sih? Sawan ya? Dari tadi senyum-senyum mulu.. dasar gila lo..." Ucapnya dengan nada menyebalkan.

"Apaan sih lo" balasku dengan ketus sambil beranjak meninggalkannya.

"Dasar es batu lo.. makanya cari cewek sana.. buku terus lo pacarin."

Dia adalah orang paling cerewet yang pernah aku kenal melebihi mama. Dan sayangnya dia adalah saudara kandungku. Bukan anak pungut Papa dan Mama.

"Putri udah deh.. jangan teriak-teriak. Mama pusing dengernya" akhirnya mama angkat bicara karena putri terus menerima teriak-teriak memanggilku.

"Abis anak mama tuhh aneh banget.. putri cuma khawatir kalo Fian itu nggak normal ma.. liat aja dia.. pacaran sama buku terus. Selingkuhnya sama basket padalah udah mau kelas 3 SMA." Ucapan setengah teriak-teriak itu masih bisa ku dengan jelas dari dalam kamar yang pintunya kubiarkan terbuka.

"Aku normal, Put. Stop berisik oke!" Jawabku kemudian kembali menutup pintu dengan sedikit keras. Dasar menyebalkan.

---------------------

Author POV

---------------------

Ditempat lain terlihat Arlian sedang menampilkan senyum 100 watt-nya tanpa henti, hal yang membuat Yoga benar-benar heran dibuatnya. Gila. Mungkin itulah hal yang terlintas dipikiran laki-laki berusia 18 tahun itu.

"Ara.. stop senyum kayak orang gila ya." Ucapnya mulai jengah, namun Ara tak menghiraukannya. Pikirannya tetap tertuju pada pertemuannya dengan Dafiandra sore tadi.

"Ara.. nih.. Mami bikinin kamu teh anget. Diminum yahh.. kamu nanti bisa sakit." Terdengar suara seorang wanita paruh baya, dia adalah Nina, mama Yoga namun Arlian tetap memanggil wanita itu dengan sebutan Mami.

"Iya Mi." Ucap Arlian dengan penuh semangat dan dalam hitungan detik seengah gelas dari isi gelas itu sudah berpindah ke dalam lambungnya. Menyalurkan kehangatan ketubuh mungil gadis itu.

"Oh Iya.. tadi kalian pulang sama siapa? Kayak ya nggak cuma berdua deh"

"Iya mi tadi ki-"

"Tadi Kita pulang sama anak baru itu mi.. dasar resek.. baru kenal dia udah berani ngajak ngobrol dan ngajak Ara hujan-hujanan. Gimana kalo kamu sakit? Om Arman masih di Palembang."

"Kak stop ya.. lagian dia baik. Kakak nggak usah bawa-bawa Daddy toh daddy juga nggak akan peduli kalo Aku sakit-"

"Kalian berdua stop debat. Mami pusing. Ara kamu istirahat gih. Yoga kamu anterin Mami belanja bulanan. Papi kamu lembur hari ini."

"Iya Mi." Ucap mereka berdua secara bersamaan.

Awal pertemuan yangmengesankan, sedikit manis ala-ala novel romantis, namun mereka semua tak tauapa yang akan terjadi selanjutnya. Akhir yang manis atau bahkan penuh drama yangtak berujung. Bukan mereka yang meminta pertemuan itu ada, mungkin begitulahtakdir Tuhan menggoreskan tintanya untuk memulai sebuah cerita dua anak manusia

Later [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang