Prolog

29 1 0
                                    

"Gak ngantin?"

"Gak," jawab Avella tanpa menoleh.

Glen mengelus rambut sahabatnya perhatian, "Jangan gitu dong ntar kalo mual lagi gimana?"

Avella membuka matanya tidak rela, nyaman dengan elusan di kepalanya. "Lo kalo ngomong congornya divaksin dulu bisa?" Tangannya ia larikan untuk mencubit lengan lelaki itu, "Kalo ada yang denger bisa-bisa salah paham bego!"

Avella memang memiliki penyakit maag, makanya saat ia lapar namun telat makan, perutnya akan terasa mual.

"Lah lo dipeduliin malah marah, gak tau diri emang." Glen jongkok di samping Avella, "Buruan gue anter ke kantin, lo males jalan, kan?"

Memang, Glen selalu baik padanya. Sahabat sekaligus kakak bagi Avella. Marah namun tetap peduli. Sebenarnya Avella memang malas berjalan, tapi alasan dibalik kemalasannya adalah...

"Rio?" Avella yang bersiap hinggap di punggung Glen terduduk kembali, "Kamu ngapain kesini?" padahal lagi marah sama aku. Sambung Avella dalam hati.

Rio meletakkan tiga bungkus roti dengan rasa berbeda dan sekotak susu stroberi di atas meja Avella. "Kata Kania lo lagi gak sehat, gue disuruh bawain ini. Lain kali kalo gak enak badan gak usah sekolah aja sekalian, nyusahin tau gak."

Kania? Lagi?!

Rio, lo tau gak kalo lo itu nyakitin gue?

Lo sadar gak kalo setiap cewek itu ngomong lo selalu nurut?

Lo mikir gak kalo pertengkaran kita itu muaranya adalah dia?!

Buat lo, yang jadi pacar itu gue apa Kania, sih?!!

Avella berteriak dalam jiwa. Suaranya hanya berdengung di hatinya. Selalu seperti ini. Ia tidak pernah mampu menyuarakan kegundahannya.

Dan yang mampu lolos dari kerongkongannya hanya,

"Maaf."

Not Your TypeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang