"Please, Dim. Nanti temenin gue lewat video call, ya?"
Guru matematika tengah asyik mengajar dan pemuda sipit itu berusaha keras memusatkan segala perhatian pada baris dan deret angka di depan. Namun ia tidak bisa. Dimas menghela napas mendengar bisikan berupa permintaan dari teman sebangkunya, Lingga, untuk yang ketiga kali.
"Ngapain sih?" respons Dimas kemudian, turut berbisik.
Namun bukan sebuah jawaban yang ia dapat, melainkan wajah Lingga yang kini berubah sedih; bibirnya melengkung ke bawah dengan sorot mata dilembutkan dan pupil mata yang sedikit berkaca-kaca. Sok merajuk seperti biasa, Dimas sudah hafal. Memainkan ekspresi adalah suatu keahlian bagi Lingga yang seorang aktor utama di klub teater sekolah mereka.
Dimas mengernyit jijik, ia alihkan pandangan dari wajah Lingga menuju buku catatannya dan mulai mencatat materi yang sempat tertinggal. Si pemuda sipit menggerutu dalam hati kala menyadari bahwa dirinya tertinggal catatan sepanjang lima baris dan pemuda di sampingnya konstan menusuk-nusuk ringan lengan kirinya menggunakan jari telunjuk.
Alis menyatu di tengah diiringi gemeletukan gigi ringan menandakan Dimas benar-benar risih untuk saat ini. "Mau lo apa sih, Ngga?" Volume suara sedikit naik lalu turun kembali, Dimas--beruntung--masih ingat di mana mereka sekarang.
"Lo nggak dengarin gue tadi, ya?" Masih dengan ekspresinya tadi, Lingga menaruh kepalanya di meja beralaskan lengan kirinya.
"Lo tahu gue lagi dengarin Pak Sigit, 'kan? Ngapain lo ajak gue ngobrol?"
"Takutnya nanti enggak sempat."
"Hilih," cibir Dimas yang kembali mengabaikan Lingga dan berusaha untuk menulis cepat baris demi baris yang tertinggal.
Lingga mendengus, kali ini menampilkan raut wajah terganggu sebab ia gagal mendapat atensi Dimas sepenuhnya. Tangan kanannya meraih pulpen merah yang terselip di telinganya lantas tanpa dosa ia merebut buku Dimas--yang tentu saja mendapatkan protes dari empunya, meski tidak ada perlawanan.
Delikan dari Dimas tidak menghalangi niat Lingga untuk melanjutkan kalimat yang ia tulis asal di halaman buku Dimas yang terbuka. Puas dengan tulisannya, Lingga menutup buku tersebut dan memberikannya pada Dimas sebelum kemudian ia kembali menaruh kepala di meja.
Dimas mengambil buku itu dengan tidak sabar dan sedikit kesal, langsung dicari-carinya apa yang ditulis Lingga di sana. Ketika netra Dimas menangkap goresan merah di halaman ketiga dari belakang buku tersebut, Dimas mau tak mau membelalakkan mata dan menatap Lingga penuh dendam.
'Gue mau tidur. Nanti bangunin ya. Tq.'
.
.
.-Video Call-
Oneshoot Story by: Akasa_75Hope you enjoy this!
.
.
.Malam harinya, entah setan apa yang merasuki Dimas saat itu, Dimas menunggu panggilan video dari Lingga. Meski Dimas merasa aneh ketika Lingga bilang ingin ditemani olehnya lewat panggilan video ketika dia bermain game, ia tetap menunggu Lingga.
Satu rahasia yang harus kalian tahu; Dimas diam-diam menyimpan rasa pada teman sebangkunya sejak awal MOS lima bulan yang lalu. Hal ini jelas membuat Dimas kepayahan untuk menolak permintaan Lingga.
Ah, tipikal bucin.
Sekarang sudah hampir jam sebelas malam dan Dimas hampir menyerah untuk menunggu. Dimas mengantuk, ia tak biasa terbangun hingga tengah malam. Mungkin Lingga hanya bergurau, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendek Seperti Aku
Short StoryManis atau pahit, asin atau asam, apa pun bisa dirasakan melalui buku ini. Kebahagiaan dan juga kesedihan turut hadir. Namun sayang, sama seperti kisah yang lain, semuanya akan berakhir. Semua rasa dikemas berbentuk kata-kata yang menanti untuk diba...