Tangis Bayi di Malam Hari
Nopember 1993.
Oooeeeekkk... Oooeeekkk
Suara tangis orok masih terdengar dari kebun yang ada di belakang rumah. Rinai gerimis yang turun lama-kelamaan berubah menjadi bulir sebesar biji jagung siap panen. Guntur menglegar. Petir berkilatan menyambar-yambar ke segala penjuru. Angin bertiup sangat kencang, membuat pohon bambu yang banyak tumbuh liar di kebun belakang, bergoyang kesana-kemari menimbulkan bunyi berderak karena saling bergesekan antara batang yang satu dengan batang yang lainnya.
Jam dinding baru menunjukan pukul 20:13. Belum terlalu malam sebenarnya. Namun, karena cuaca malam ini tak bersahabat, sehingga menimbulkan kesan mistis yang mendirikan bulu kuduk. Ari, Richo, Denisa, Maya dan Irma, yang merupakan teman-teman kampus Septi yang juga sedang melakukan praktek Kuliah Kerja Nyata (KKN) belum juga pulang dari balai desa.
Ada rapat pendataan untuk peserta yang akan ikut kompetisi Klopencapir, program yang diadakan sejak Bapak Presiden Soeharto. Mereka tertarik ingin mengetahui prosesnya. Sedang Septi enggan menghadirinya. Ia sedang tak enak badan. Makanya, ia memilih berdiam diri di rumah yang disediakan Kepala Desa untuk tempat mereka tinggal selama KKN di Desa ini.
Di dalam rumah. Septi berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hatinya tidak tenang. Suara tangis orok, atau bayi yang baru dilahirkan terdengar semakin keras dari arah kebun belakang rumah.
"Hmmm... Anak siapa yang malam-malam seperti ini menangis terus? Mengapa ibu si bayi tak berusaha mendiamkannya?" Gumam Septi dalam hati.
Braaaakkkkk...
Tiba-tiba saja, pintu dapur yang menghadap langsung ke arah kebun, terbuka lebar. Septi terkejut bukan kepalang. Angin dingin yang disertai air tampiasan hujan langsung masuk ke dalam rumah. Ia langsung berlari ke arah dapur untuk segera menutup kembali pintu tersebut. Butiran air hujan yang tampias terbawa angin mengenai wajahnya yang cantik. Hawa dingin langsung menyergap tubuhnya, seperti menelusup langsung kedalam tulang. Tubuhnya menggigil. Begitu jemarinnya menyentuh daun pintu, segera ia mengayunkan tangannya untuk menutupnya. Namun matanya masih sempat menatap jauh kedalam kebun yang ditumbuhi rimbun pohon bambu. Di kejauhan, ia melihat seperti ada gubuk kecil di tengah kebun diterangi sebuah lampu templok bersemprong kecil yang memiliki sumbu di tengahnya dan berbahan bakar minyak tanah.
"Dari sana rupanya suara tangis bayi tersebut," ujarnya dalam hati.
Biiiiiipppp...
Tiba-tiba lampu patromak yang ada di dapur padam. Sejenak Septi terkesiap, tetapi, begitu sadar bahwa matanya tak bisa melihat apapun, karena gelapnya ruangan. Septi langsung berteriak sambil berlari ke ruang tengah. Namun, naas baginya. Kakinya tersaruk dingklik (kursi kayu kecil yang biasa digunakan para wanita desa di dapur). Tubuhnya terpelanting. Bunyi bedebam begitu kuat saat tubuhnya menyentuh lantai rumah yang hanya terbuat dari plesteran semen campur pasir.
Lolongan anjing terdengar di belakang rumah. Menambah seram suasana. Dengan susah payah, Septi berusaha bangun dari jatuhnya. Setelah bisa berdiri, ia langsung menghambur ke ruang tengah. Tubuhnya berkeringat, tak ia hiraukan rasa perih akibat lecet-lecet di tangan dan kakinya ketika jatuh tadi. Badannya menggigil karena takut. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba saja, matanya menatap lekat pada sebuah lukisan. Lukisan seorang wanita cantik berkisar usia 19 tahunan.
Lukisan itu dipajang hanya dengan berbingkai kayu jati yang di ukir indah dan berkilatan memantulkan cahaya lampu patromak yang berpendar nyala tergantung tepat di tengah ruang, tanpa menggunakan kaca sebagai penutupnya. Lukisan itu nampak seperti hidup. Bibirnya yang mungil seolah sedang tersenyum kepadanya. Bulu kuduknya langsung berdiri. Pikirannya kalut. Septi langsung memalingkan wajahnya dari lukisan tersebut. Namun, senyum gadis dalam lukisan itu selalu hadir dimanapun pandangan Septi tertuju. seolah-olah gadis itu ingin mengatakan sesuatu padanya. Sedang suara bayi menangis terdengar semakin keras.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Dengan terburu-buru, Ari, Richo, Denisa, Maya dan Irma berebut masuk kedalam rumah. Pakaian mereka basah terkena hujan. Sambil tertawa-tawa mereka saling dorong. Septi menarik nafas lega. Akhirnya teman-temannya datang juga. Rasa takut berangsur-angsur hilang dari hatinya.
"Kalian ngapain aja sih? Lama benar di balai desa?" tanya Septi kepada mereka.
"Biasalah, daripada dirumah, mending kita ngumpul sama warga. Seru loh. Kamu sih tadi ga mau ikut," jawab Irma.
"Eh, tado di balai desa, Ada Hilman loh. Cowok ganteng yang dulu menyambut pertama kali saat kita tiba di desa ini," celetuk Maya genit. Septi hanya mendengus.
Ooeeeekk...Oooeeeek.
Suara tangis bayi kembali terdengar. Namun, kali ini tak lagi keras. Suaranya hanya lamat-lamat terdengar seperti menjauh terbawa angin.
"Kalian dengar suara bayi nangis nggak?" tanya Septi kepada Maya dan Irma, yang masih berada di ruang tengah. Ari dan Richo sedang berusaha menyalahkan kembali lampu patromak yang mati di dapur. Desa ini memang belum dimasuki aliran listrik. Jadi, semua penerangan hanya mengandalkan lampu patromak, ceplik maupun obor bambu atau lampu senter. Sedangkan Denisa sudah masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
"Suara bayi? nggak tuh," kata Maya sambil menempelka kelima jari tangannya yang merapat di samping telinga, berusaha untuk lebih konsentrasi mendengar.
"Kamu jangan halu deh!" kata Irma sambil tertawa menggoda.
"Nggak, aku serius. Dari tadi aku dengar suara bayi menangis. Sepertinya berasal dari gubuk yang ada di tengah kebun belakang rumah."
"Ngaco kamu," kata Richo yang tiba-tiba muncul dari dapur bersama Ari. "Gubuk itu tidak berpenghuni. Itu hanya gubuk kosong tempat anak-anak kecil sekitar sini bermain.
"Tapi, tadi aku lihat ada nyala lampu di gubuk tersebut. Pasti gubuk itu tidak kosong. Pasti ada orang di dalamnya."
"Nyala lampu?" kata Ari.
"Ia." Septi mengangguk.
Lalu mereka berlima segera menuju pintu belakang yang terletak di dapur. Ari membuka pintunya. Samar-samar terlihat gubuk yang berada di tengah kebun itu. Suasana gelap meliputi keadaan sekeliling. Tak ada nyala lampu di sana.
"Mana lampu yang kamu lihat?" tanya Richo.
"Tapi... tapi...tadi aku benar-benar melihat ada cahaya lampu ceplik menyala terpancar dari dalam gubuk. dan mendengar suara tangis bayi." ucap Septi.
"Kamu ini kebanyakan melamun," kata Maya.
"Sudah... sudah... pada balik ke kamar! kita tidur! sudah larut! besok masih banyak kegiatan yang akan kita lakukan," teriak Denisa dari dalam kamar. Ari pun menutup kembali pintu belakang, kemudian mereka berlima berjalan ke arah kamar masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Kembang
Mystery / ThrillerSebuah cerita horor misteri yang berlatar di sebuah desa terpencil di Jawa tengah pada tahun 1993. Desa siKembang namanya. Sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan KKN, tanpa sengaja terlibat kejadian yang menyeramkam. Kejadian ini bisa merenggut...