Gadis Dalam Lukisan

64 3 0
                                    

"Septi kemana?" tanya Maya kepada Denisa.

"Entah, tadi, ketika aku bangun tidur, ia sudah tak ada di ranjangnya," jawabnya.

Denisa adalah kawan sekamar Septi. Mereka ber-enam tinggal dalam satu rumah, dan tiap kamar terdiri dari dua orang.

"Jangan lupa loh! jam delapan tepat kita sudah harus ada di Balai Desa. Kita mulai kunjungan ke rumah para sesepuh adat dan tokoh masyarakat desa ini," ucap Ari mengingatkan.

"Tara.... Sarapan sudah siap." Tiba-tiba Irma muncul dari dapur dengan membawa sepanci penuh berisi mie instan rebus campur telur dengan beberapa potong cabai.

"Loh, Septi mana?" tanya Irma, begitu menyadari bahwa di ruang tengah hanya ada empat orang temannya. "Den, Kamu kan teman sekamarnya, Apakah ia tak pamit dan bilang sesuatu pagi tadi?"

"Tidak. Tadi aku bangun kesiangan. Jadi, aku tak melihat ia bangun dan pergi dari kamar."

"Kemana anak ini? Pagi-pagi sudah ngilang. Apa ada hubungannya dengan kejadian semalam ya?" gumam Irma.

"Kejadian semalam? Kejadian apa?" tanya Richo.

"Semalam Septi bertanya kepadaku dan Maya, apakah kami mendengar suara tangis bayi? Setelah itu, ia juga berbicara tentang gubuk yang ada di kebun belakang rumah. Apa mungkin Septi sekarang ada di sana?"

Semua terdiam mendengar perkataan Irma.

"Kalau begitu coba ku susul ke sana," ujar Richo.

"Huuu... Itu sih memang mau kamu Cho, kesempatan ya, bisa berdua dengan gadis pujaan hati," canda Ari yang di sambut gelak tawa yang lainnya.

"Aku ikut deh," usul Maya. Sejenak kemudian, Richo dan Maya pergi menuju ke gubuk tersebut.

"Waaaaaaaa...."

Tidak lama kemudian terdengar keras suara teriakan Maya. Irma, Ari dan Denisa yang mendengar teriakan Maya, saling berpandangan. Tanpa ada yang mengomandoi, mereka letakan piring berisi mie rebus yang ada di tangan masing-masing ke atas meja. Dan tanpa menunggu lama, mereka bertiga berhamburan lari menuju gubuk di kebun belakang rumah.

Sesampainya di sana, mereka temui Maya yang sedang menangis sambil berlutut. Di depannya tergeletak sesosok tubuh dengan mata melotot. Badannya kaku. Tangannya membentuk pose seperti orang yang sedang mencakar. Mulutnya komat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Sedang Ari, sibuk menepuk-nepuk pipi sosok tersebut. Sosok tersebut adalah Septi, kawan mereka yang hilang sejak pagi tadi.

"Septi... Bangun Sep! Sadar Sep!" seru Ari beekali-kali. Namun, sepertinya Septi tidak merasakan tepukan di pipinya serta panggilan tersebut. Tubuhnya seperti ada yang merasuki. Jiwanya bagai berada di alam lain. Dinginnya lantai gubuk yang berupa tanah yang dipadatkan, seperti lengket memeluk tubuh Septi.

"Kita gotong dan bawa ke rumah!" perintah Richo. "Irma dan Denisa, kalian pergi ke rumah terdekat minta bantuan!" Tanpa banyak tanya, Irma dan Denisa langsung bergegas keluar dari gubuk dan pergi mencari bantuan. Sedang Ari dan Richo, langsung membopong tubuh kaku Septi, dibantu oleh Maya.

"Kamu kenapa Sep...?" ratap Maya ketika sudah membaringkan tubuh Septi di kursi ruang tengah rumah yang mereka tinggali. Isak tangis terdengar dari mulutnya yang mungil. Air matanya mulai membasahi pipi. Mukanya yang putih, semakin memutih karena pucat. Ada gurat kawatir di wajahnya. Bagaimana tak kawatir? melihat keadaan sahabat nya seperti ini.

Tak lama kemudian, datang Irma dan Denisa beserta bapak Kepala Desa, ditemani seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahunan yang meski sudah sepuh, namun memiliki badan yang kekar dan lebih tinggi dari orang kampung kebanyakan. Gelang akar bahar melilit di pergelangan tangannya. Beberapa batu akik berukuran besar seperti berebut tempat di jemarinya. Wajahnya berkulit gelap dan di dagunya ditumbuhi janggut yang menjalar sampai ke bawah telinga. Pakaiannya serba hitam. Dari ikat kepala, baju hingga celananya, semua berwarna hitam. Bahkan sandal yang dipakainya pun berwarna hitam. Di pinggang kanannya terselip sebuah golok juga berwarna hitam. Gagangya terbuat dari kayu sonokeling yang liat berbentuk kepala ular dengan sorot mata yang tajam.

Mbah Urip namanya. Konon itu bukan nama aslinya. Tetapi nama julukan. Karena beliau sering mengobati orang yang tadinya sekarat hampir mati, kemudian sembuh dan hidup sehat kembali seperti tak pernah merasakan sakit sebelumnya. Makanya ia di juluki Mbah Urip yang berarti Mbah Hidup atau yang menghidupkan.

Mbah Urip, menyuruh Ari, Richo dan Maya agar menyingkir menjauh dari tubuh Septi. Kemudian terlihat mulutnya berkomat-kamit membaca sesuatu. Entah mantera apa yang dibacanya, suaranya terdengar tak jelas. seperti orang yang meracau. Tangan kanannya bergerak-gerak di atas wajah Septi, sedang tangan kirinya memegang mangkuk kecil berwarna coklat gelap yang berisi bara yang sudah di taburi benda yang disebut kemenyan.

Wangi kemenyan terbuat dari kayu gaharu yang terbakar menguar di ruangan tersebut. Wajah Mbah Urip sudah penuh dengan peluh yang menetes. Mukanya berkerut, seperti sedang menahan beban yang berat. Tangannya masih terus bergerak ke segala arah. Dan tiba-tiba ia berteriak dengan keras. "Pergi kau...! Jangan ganggu gadis ini!"

Semua yang ada di ruangan tersebut tersentak kaget mendengar terikan Mbah Urip. Tanpa diduga, Septi bangkit dari tempatnya berbaring sambil tertawa dengan suara keras. Matanya yang sejak tadi tak terpejam, kini semakin terbelalak seram.

"Kau tak bisa mengusirku. Aku adalah gadis ini, dan gadis ini adalah aku. Kami adalah satu. Kalian tak akan bisa memisahkan kami," kata Septi dengan suara keras sambil tertawa cekikikan. Terdengar sangat menakutkan.

Dengan sigap, Mbah Urip langsung memegang tangan Septi. Dupa yang terbuat dari mangkuk kecil yang tadi di pegang tangan kirinya sudah ia letakan di lantai. Lalu dengan kuat, ia cengkram kepala Septi sambil terus mulutnya komat-kamit. Keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya. Maya, Irma dan Denisa, beringsut mundur ke sudut ruangan sambil ketakutan. Sedang Ari, Richo dan pak Kades saling bahu-membahu, membantu Mbah urip memegangi tangan Septi yang bergerak liar kesana-kemari mencoba mencangkar siapa saja yang ada di dekatnya.

Sekitar setengah jam kemudian, tubuh Septi melemas, Tak ada lagi teriakan tak jelas dari mulutnya. Kedua tanganya pun melemas lunglai. Lalu tubuhnya merosot dari pegangan para lelaki yang ada di situ. Sejenak kemudian, matanya terbuka. Setelah nengerjap-ngerjap sebentar, Septi terlihat seperti orang bingung.

"Aku dimana?" tanyanya setelah kesadaranya kembali. "Apa yang terjadi?" sambungnya.

"Kamu kerasukan," jawab pak Kades.

"Kamu sedang apa di gubuk belakang rumah Sep?" tanya Ari.

Septi memandangi wajah mereka yang ada di ruangan itu satu-persatu. Tatapannya berhenti ke lukisan bergambar gadis cantik yang tergantung di dinding.

"Gadis itu... Aku melihat gadis yang ada di dalam lukisan itu tersenyum kepadaku semalam. Dan tadi subuh, sebelum adzan subuh berkumandang, gadis itu membangunkan tidurku, dan mengajak ke gubuk di kebun belakang rumah," ujar Septi bercerita. Semua yang ada di situpun kembali berpandangan sambil menatap heran ke arah Septi.

Bersambung...




Si KembangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang