"Thanks, Lith," ucap Alana saat Lalitha meletakan semangkuk mie ayam ke hadapannya. Lalitha hanya menganggukan kepala sebagai balasan. Setelahnya gadis itu duduk di hadapannya bersebelahan dengan Riva.
Mereka bertiga menoleh ke arah pintu masuk kantin saat segerombolan siswa memasuki kantin dengan hebohnya. Menimbulkan kericuhan di saat kantin sedang ramai-ramainya. Mereka berseru senang dengan sangat keras saat salah satu siswa yang terkenal nakal di sekolah berteriak 'Kalian bisa makan sepuasnya!'.
"Kenapa mereka ke sini?" tanya Alana. Sangat tidak suka melihat keramaian yang mereka buat.
"Kak Digant traktir temen sekelasnya. Hari ini dia ulang tahun," jawab Lalitha yang memang tau semua informasi yang sedang panas di SMA Garuda.
Suasana kantin yang terlihat ramai bertambah ramai. Bahkan, melebihi pasar saat mereka berteriak saling bersahutan memesan makanan.
Padahal, kalau orang itu berduit dan mampu membayari makan teman sekelasnya. Dia bisa membayari teman sekelasnya makan di luar. Dan tidak bikin sesak tempat yang sudah ramai diisi oleh siswa kelas sepuluh dan sebelas.
Alana tidak habis pikir. Kenapa mereka malah datang ke kantin junior padahal senior seperti mereka memiliki kantin yang cukup untuk menampung satu kelas? Kedatangan mereka semua menambah sesak di ruangan yang mampu menampung dua angkatan sekaligus ini. Malah kelihatannya sumpek. Seperti tidak ada celah ruang untuk bernafas. Seolah-olah oksigen juga saling di perebutkan. Siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas di rugikan. Kebanyakan mereka tidak mendapat tempat karena di singgahi kakak kelas. Mereka harus mengalah dari pada mendapat semprotan kemarahan kakak kelas. Namun, tidak dengan para pedagang. Mereka tampak antusias mendapat hasil yang memuaskan hari ini.
Alana mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Warna kulitnya yang putih berubah merah, begitu pula dengan bibirnya. Yang malah terlihat sedikit besar dan merah. Buru-buru gadis itu meminum es teh untuk mengurangi rasa pedas yang membakar lidah.
"Makanya di takar dulu, Al, berapa sendok yang harus lo tuang ke mangkok. Gue sama Riva aja ngeri liatnya. Takutnya lo malah sakit perut nanti pas di kelas," ucap Lalitha ketika Alana selesai meneguk minumannya.
Alana terdiam dengan mulut terbuka. Membiarkan angin masuk ke dalam mulut. Berharap bisa menenangkan rasa pedas yang menjalar di setiap sisi lidah.
"Gue lagi pengen pedes, Lith. Kayaknya enak aja gitu. Bayangan gue nanti di kelas enggak bakal ngantuk," balas Alana seraya mengelap bibirnya menggunakan tisu. Memandang sekitarnya sekilas, kemudian kembali melanjutkan makannya.
"Iyalah lo enggak bakalan ngantuk. Nanti yang ada lo mules-mules pas lagi pelajaran."
"Kok kesannya kayak lo doa'in gue ya, Lith?"
"Emang iya." Lalitha tergelak. Nyaris terjungkal. Sementara Riva hanya tersenyum. Anteng memakan mie ayamnya. Gadis itu menerapkan 'makan jangan bicara'.
"Gue sumpek, sumpah," kata Riva setelah meminum jus alpukatnya. Mata tajamnya memandang sekitar. Memerhatikan orang-orang yang ribut mencari tempat. Padahal sudah tidak ada lagi yang bisa mereka duduki. Namun, masih tetap ngeyel untuk terus menerobos sampai ke bagian belakang kantin. Yang justru menambah sesak.
"Bukan lo doang. Gue juga," Lalitha menimpali. Gadis itu ikut melihat sekitar. Namun, tidak bertahan lama. Karena dia tidak peduli dan lebih memilih menyantap mie ayamnya lagi.
"Kayaknya kita harus buru-buru nyelesein nih makannya, deh," kata Alana. Kemudian gadis itu nyengir saat mendapat tatapan datar dari Riva. Temannya itu ternyata sudah selesai makan. Dan sekarang dia sedang menunggu dirinya dan Lalitha menyelesaikan makanannya masing-masing.