Awal mula

429 45 12
                                    

Annyeong! Namaku Vanessa. Umur 15 tahun. Tinggal di Sragen. Aku anak pertama dari 4 bersaudara. Soal kepribadian, jujur aku anak nolep dan anak Introvert banget. Tapi soal Bangtan, udah rusuh banget dan bahkan putus urat malu.. "aaaaa suamikuu" haha malu-maluin banget.

Sekarang aku kelas 2 SMP. Hidup di keluarga yang sederhana. Hidup yang tercukupi kok, gak terlalu miskin banget. Kebutuhan lebih terpenuhi karena gak terlalu memprioritaskan look.

Di cerita ini, aku mau cerita tentang kehidupanku yang sangat didominasi oleh Bangtan yang membuah kehidupanku jadi sangat amat hidup banget. Jadi bukan dari keliatan orang-orang lain yang mikir kalo BTS itu cuman buang-buang waktu, suka sama mereka itu gak guna, mereka gak selalu bikin aku bahagia. Aku bakal cap kalo semua itu salah. Biar mereka tau pengaruh Bangtan di hidupku gak seburuk itu.

Cerita ini bakal di mulai jauh sebelum aku kenal sama Bangtan. Kan ku cerita dari awal lahir sampai sekarang. Otte? Dengarkan baik-baik dan pahami pelan-pelan yaa...

Bermula dari ayah dan mama aku ketemu di sebuah perusahaan lain besar di daerah solo. Mereka beda bagian kerjaan, cuman uniknya mereka bisa ketemu. Aneh tapi emang mereka ketemu pas itu. Mama aku kerja di bagian pengukuran, ayahku di bagian pemotongan kain si gudang.

Pas mereka ketemu, ya sama kaya pasangan lain. Saling becanda, ngereceh bareng, seneng bareng, susah bareng, pokoknya bener-bener couple goals banget. Tapi sayang sangat sayang, mereka beda agama. Ayahku orang Islam yang ilmu agamanya sangat amat kental dan bahkan mendominasi hidupnya sebagai hamba Tuhan. Sedangkan mama orang Katholik yang dulu sama kaya ayah. Mama orang yang agamis dan bener-bener anak tuhan.

Dan juga ayah berasal dari keluarga terpandang di desanya dan terkenal sebagai anak saudagar kaya. Sedangkan mama berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tinggal di rumah yang sempit dan gapunya apa-apa. Mau nonton tv pun harus numpang di rumah tetangga.

Karena alasan 'beda agama' dan 'berbeda kasta', kedua pihak antara mama dan ayah gak merestui hubungan ayah dan mama. Tapi mereka tetep berjuang karena mereka bener-bener saling sayang.

Akhirnya beberapa bulan ayah sama mama bareng, akhirnya keluarga kedua belah pihak pasrah dan langsung menikahkan mereka berdua dengan akad dan resepsi sederhana.

Setelah menikah, ayah dan mama tinggal di rumah eyang dari ayah. Tapi mengenaskan, mereka harus tinggal di gudang dekat peternakan. Bisa bayangkan, banyak nyamuk, bau menyengat, serangga kalajengking, dan bahkan ular bisa masuk ke kamar mereka. Karena posisi kamar mereka terpisah dari rumah dan dekat peternakan.

Tapi mama dan ayah tetap gigih menjalani hidup layaknya pasutri lain. Tapi sayangnya mereka harus mencari pangan sendiri dan tidak mendapatkan campur tangan dari eyang. Karena pada dasarnya, eyang udah muak sama mama. Gasuka sama mama karena mama anak orang miskin yang membuat anak laki-lakinya menolak dijodohkan dengan gadis saudagar kaya dan lebih memilih menikahi perempuan miskin seperti mama.

Ingin makan pun harus berjuang mati-matian. Kadang mama daftar kupon sembako di desa. Banyak komentar dan bisikan negatif dari penduduk desa tentang mama.

'itu menantu bapak carik kan? Kok ikut sembako? Apa gapunya duit buat beli beras? Astaga miris banget liatnya. Kasihan banget sama menantunya. Aku khawatir nanti cucunya bapak carik gimana ya nasibnya?'

Dan masih banyak lagi. Tapi mamaku seolah-olah tuli denger itu semua. Dia bodo amat soal apapun omongan yang menusuk bahkan mencabik-cabik jiwanya. Tapi dia tetep gigih demi kebutuhan.

Setelah beberapa bulan, akhirnya aku lahir. Aku lahir di Sragen tanggal 20 September. Awal hembusan nafas maka permainan kehidupan akan dimulai.

Singkat aja, ayah gamau aku lahir. Dia benci aku lahir di dunia. Aku belum tau alasannya apa. Tapi yang aku tau, ayah seolah-olah ganas di depanku. Tapi aku anak polos gatau apa-apa dan menganggap ayah sayang sama aku.

Suatu hari aku usia 6 bulan, aku dititipkan mama ke ayah pagi-pagi. Mama pamit ke pasar beli bahan makanan. Ketika bangun, aku nangis cari mama. Tapi bukannya menenangkan, ayahku bahkan menampar pahaku, nyentil mulutku supaya diem. Aku makin kenceng nangis, sakit? Banget. Panas di bagian paha setelah di tampar sama ayah. Kulitku masih tipis saat itu. Tapi apalah dayaku ragaku masih lemah buat ngelawan.

Waktu kelas 1 SD, Ayah dan mama sukses jalanin bisnisnya. Kami punya rumah yang luas dan besar. Dan syukur, aku nyaman. Mereka juga berhasil membeli satu mobil saat itu. Aku bangga.

Singkat cerita waktu aku kelas 4 SD. Dimana aku jadi kebanggaan mama setelah aku dapat peringkat 2 di kelas. Tetep aja ayah diam gamau mengapresiasi pencapaian ku saat itu. Tapi aku bahagia banget bisa bahagiain mama.

Karena gak semua harus dipaksakan. Ayah juga gaboleh aku paksain buat bangga sama aku. Karena memang aku dapat peringkat tinggi itu juga udah bersyukur banget dan berfikir aku gak goblok-goblok banget.

Tapi selain mama, banyak kok yang mengapresiasi. Para karyawan mama yang serontak kasi semangat dan selamat. Ada juga sampai peluk dan cium pipi. "Nessa gemesin.. semangat ya kedepannya".

Tapi entah kenapa kalo bukan ayah yang mengapresiasi, rasanya kurang dan hambar. Tapi, ah sudahlah.

Tapi beda sama teman-teman aku yang sebaliknya. Lebih baik gak diapresiasi daripada di pandang rendah. Iya. Di sekolah langsung jadi bahan tertawaan sama murid-murid pintar dan guru-guru.

"Alah paling itu rangking 2 karena emang dia di kelas 'D'. Coba aja dia di pindah ke kelas unggulan. Pasti nomor satu dari bawah. Hahahaha"

Dan itu terjadi pas upacara ada acara kepala sekolah menyerahkan bingkisan untuk anak-anak yang mendapat peringkat 1-3 dari semua kelas dan peringkat pararel.

Aku coba diam dan pura-pura gatau apa-apa. Seolah-olah aku emang sendiri kala itu. Gaada yang mau mendekat, Gaada yang mau berteman. Tapi syukur, tukan kebun dan kepala sekolah bangga. Dan pak kepala sekolah mengelus kepalaku dengan tersenyum isyarat kebanggaan.

Menepuk pundak dan bilang "kamu hebat. Bapak bangga. Bapak harap kamu bisa seperti ini sampai lulus nanti. Semangat Ness!"

Dan olokan itu terjadi gak cuman aku. Ada teman aku namanya Irfan. Dia genius, tapi anaknya sedikit aneh. Jadi gak jarang dia di jadikan bahan olokan.

Bahkan suatu hari, dia pernah membanting piala olimpiade IPA yang pernah dia rebut sebagai sang juara. Hanya karena dia diejek "muka aneh" sama geng kelas. Dia langsung marah besar, ngebanting pialanya dan langsung pergi ke kamar mandi.

Seolah-olah menyiratkan marah besar. Sebesar-besarnya. Akhirnya dia mau kembali di halaman sekolah dan bawa pialanya kembali.

Saat di posisi Irfan saat itu, aku pengen banget ngelakuin itu balik ke mereka. Tapi maaf aku gabisa. Dia alasan yang kuat. Pertama, kalo aku menghujatnya balik artinya aku sama aja sama mereka. Kedua, aku gak selemah itu.

Tapi di suatu momen dimana atensiku beralih ke seseorang dari geng itu. Siapa dia?

CHEROPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang