Prolog

68 21 4
                                    

   Udara terasa dingin malam ini, perempuan itu mengeratkan jaketnya dan memasuki sebuah cafe di pinggir jalan. Sebentar lagi cafe itu mungkin akan tutup, mengingat saat ini jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia melepas jaketnya dan menyampirkan di lengan kirinya.
   Di meja kasir, seorang pria tua tersenyum hangat dan menunjuk tangga menuju lantai dua dengan dagunya. Perempuan bermata biru keabuan itu tersenyum dan berjalan menuju tangga. Diam-diam ia tersenyum saat mengetahui cafe favoritnya ini belum banyak berubah. Bahkan setelah tujuh tahun berlalu.
    Perempuan itu lalu duduk di salah satu kursi di sudut ruangan. Ia meletakkan jaketnya dan menoleh ke kaca di sebelah. Tampak Kota Jakarta yang indah dengan kerlap-kerlip lampu dan langit malam yang tak segelap biasanya.
   Tujuh tahun telah berlalu sejak kepergiannya ke Prancis. Dan kini ia kembali ke Tanah Airnya, Indonesia. Banyak hal yang sudah berubah selama tujuh tahun ini. Selain umurnya yang sudah menginjak usia seperempat abad, hidupnya pun benar-benar berubah.
   Tak lama kemudian pria tua tadi menghampirinya dan meletakkan dua cangkir kopi dan kue kering di piring kecil. Ia kembali tersenyum meski perempuan itu menunjukkan keheranannya.
   "Manusia berubah, dunia pun berubah, tapi perasaan tidak." Ujarnya dengan suara berat.
   Perempuan itu menunduk dan melihat bayangannya di cangkir kopinya. Wajahnya tak banyak berubah, hanya kantung matanya yang sudah tak separah dulu.
   "Enjoy your coffee." Ujar pria berbaju hitam itu sebelum kembali ke lantai satu.
   Hening. Hanya suara denting jam tua dan kendaraan di luar yang bisa ia dengar. Perempuan berambut panjang itu menatap dua cangkir di depannya dan terdiam. Sekelebat bayangan seseorang melintas di pikirannya. Ia tersenyum dan menyeruput kopinya.
   Kembali ke Jakarta setelah sekian lama membuat ingatannya kembali menyeruak. Termasuk ingatan tentang orang itu, yang kini entah berada dimana.
   Samar-samar, perempuan itu mendengar suara langkah kaki dari tangga. Ia berpikir, mungkin ia bisa jadi teman minumnya nanti. Semakin lama, suaranya makin jelas dan siluetnya pun mulai terlihat.
   Perempuan itu menghela napas, ia mungkin akan menyapa tamu itu begitu sosoknya terlihat. Tapi yang terjadi detik berikutnya, ia justru diam seribu bahasa. Di depannya, berdiri seorang laki-laki tinggi dengan setelan jas hitam dan paper bag di tangannya.
   Selama beberapa saat, mata mereka saling bertemu. Ada mata dengan sorot teduh yang menenangkan, dan ada mata dengan sorot kerinduan yang kembali membuncah.
   Laki-laki itu berjalan dengan degup jantung yang menggebu. Ia meletakkan paper bag di salah satu meja dan menatap perempuan di depannya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
   Perempuan itu beranjak dari kursinya dan berdiri di hadapan laki-laki itu. Matanya berkaca-kaca dan tangannya terasa sangat dingin. Sedetik kemudian air matanya mengalir dan senyumnya mengembang. Laki-laki bermata cokelat terang itu pun ikut tersenyum.
   Tanpa berkata sepatah katapun, laki-laki itu menghampiri si perempuan dan memeluknya erat. Meluapkan seluruh perasaannya selama tujuh tahun ini. Perasaan yang tertahan dan tak bisa ia enyahkan dari hatinya.
   "Welcome back, Ernesta."

Hai guys, ini cerita aku yg asal-asalan dan penuh kengawuran. Tapi aku harap kalian bakal suka. Jangan lupa vote and comment ya guys:)
Buat kalian yang mikir tokohnya berumur 20+ di chapter-chapter berikutnya, tenang aja. Ini cuma prolog. Tokohnya belum setua ini ya guys.
Oke, thanks:)

US Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang