Setelah 6 bulan menjadi mahasiswa, membuatku banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Berbeda jauh saat aku masih SMA, semua waktu dihabiskan di sekolah dan di rumah saja kecuali jika ada bimbingan belajar setiap tiga kali seminggu. Dan benar kata kakakku, bahwa kehidupan mahasiswa sangat jauh berbeda sengan SMA. Segala sesuatu dituntut untuk mandiri dan harus siap menanggung resiko atas keputusan yang sudah diambil. Tapi, selama menjadi mahasiswa, aku menjadi lebih bersosialisasi dibandingkan saat SMA dulu. Aku harus terlibat di berbagai organisasi, mengingat jurusanku yang menuntut seluruh mahasiswanya harus ikut serta dalam organisasi, jika tidak, nilai dari dosen akan terancam, selain itu untuk bisa mengajukan beasiswa di kampusku, harus ada keterangan aktif berorganisasi internal kampus.
Hidupku selama kuliah memang selalu bergantung dengan beasiswa. Karena jika bukan dengan begitu, tentu perekonomian keluarga kami takkan sanggup untuk menguliahkanku saat ini. Ayahku hanya seorang pegawai negeri biasa dan ibuku tidak bekerja. Kakakku, Hardy, telah menikah dengan Sisca dan telah memilki anak perempuan bernama Puan, sekarang berusia empat tahun. Sedangkan aku dan kakakku, Mira, sedang berkuliah dan adikku, Herry, sedang sekolah tingkat SMP. Jadi aku menggantungkan semuanya pada beasiswa agar ayahku tidak terbeban dan bisa mencukupi kebutuhan di rumah dengan baik.
Sebenarnya, saat SMA, aku sangat menginginkan jurusan kedokteran. Hanya saja, melihat perjuangan Ayah yang begitu keras memenuhi kebutuhan kami, membuatku enggan dan mematahkan keinginanku itu. Ayah jelas tahu aku begitu ingin menjadi dokter dan dia tak pernah mempersalahkan cita-citaku itu. Dia selalu mendorongku untuk meraihnya lewat prestasi-prestasi yang selalu kudapatkan di sekolah. Tapi aku tahu, di balik semua semangat ayah, tentu ada kegundahan mendalam mengingat sekolah kedokteran bukanlah terbilang murah. Karena itulah, aku memutuskan untuk mengambil jurusan matematika. Karena aku dan Ayah sungguh menyukai matematika dan Ayah merupakan salah satu guru matematika favorit di sekolah tempat ia mengajar. Hal itu terlihat setiap perayaan hari guru, ayah selalu memenangkan kategori guru terfavorit. Lain halnya dengan adikku, Herry, ia justru sangat membenci matematika dan selalu menolak jika ayah menyuruhnya mengikuti les matematika dan lebih memilih les bahasa Inggris walau sebenarnya dia pun tak menyukai bahasa Inggris.
Hari ini adalah hari terakhirku liburan semester. Setelah satu bulan aku menghabiskan waktuku dengan keluarga, saatnya aku kembali disibukkan dengan tugas-tugas kuliah.
"Yah, Ma, Muddy berangkat ya!"
"Berangkatnya bareng mas Hardy aja Dy!" teriak mbak Sisca yang sedang menyuapi Puan.
"Loh, mas Hardy belum berangkat mbak?"
"Tuh lagi ambil helm!"
"Yuk dek berangkat keburu telat!" Seru mas Hardy.Mas Hardy adalah seorang karyawan di PT. Seno Jaya. Biasanya ia berangkat sebelum matahari terbit mengingat kantornya yang cukup jauh dari rumah. Namun sedikit berbeda untuk hari ini. Lumayanlah, aku bisa menghemat uang mingguan dari Ayah tanpa harus mengeluarkan ongkos angkutan umum pagi ini.
"Kenapa berangkatnya siangan mas?" Kataku setengah berteriak karena mas Hardy memakai helm dan angin pagi ini cukup kencang.
"Iya, pagi ini ada acara ulang tahun kantor jadi agak siangan aja berangkatnya. Kamu bagus-bagus kuliah ya. Jangan kecewain ayah dan mama. Pergaulannya juga harus dikendaliin ya dek."
"Iya mas pasti."
Mas Hardy memang selalu kaya akan nasehat. Setiap pagi, kudengar mas Hardy menasehati Puan agar tak cengeng dan tidak terus-terusan minta jajan. Apalagi mbak Sisca sedang hamil, emosinya naik turun. Itulah sebabnya, mas Hardy selalu menasehati Puan dengan gaya centilnya. Mas Hardy memang masih tinggal bersama kami. Sebenarnya Ayah sudah menyarankannya untuk pindah agar tak terlalu jauh dari kantornya. Tapi mas Hardy menjelaskan, dia masih menabung untuk membeli rumah mengingat harga rumah di sekitar daerah kantornya tergolong mahal. Sedangkan mbak Sisca masih aktif membuat kue-kue kering jika ada yang memesan."Muddy!!!!" Tari memanggilku dari kantin. Aku mendatanginya yang terlihat sedang mengantri membeli makanan.
"Eh Tar, kok disini? Kamu belum sarapan ya?"
"Belum nih, pak Parjo tukang jual makanan di kos ku sakit. Jadi deh aku sarapan di kampus. Kamu sekali-kali bawain sarapan dong buat aku Dy."
Kebanyakan teman-temanku di kampus memang anak perantauan. Tari asli Magelang, Wasty asli Medan, dan Fira asli Jakarta. Kami setiap hari selalu bersama. Kemana saja.
"Iya, kapan-kapan aku bawain deh. Tapi gak janji ya."Karena sudah sebulan tidak kuliah, rasanya malas sekali memulai. Apalagi semua dosen masih menjelaskan kontrak kuliah. Tapi ada satu dosen yang menarik perhatianku. Beliau adalah dosen dari jurusan psikologi. Beliau mengajar matakuliah sosial dan humaniora. Usianya sudah tergolong tua tapi jiwanya masih muda dan semangatnya berkobar. Hanya dia satu-satunya dosen yang tidak menjelaskan kontrak kuliah hari ini karena baginya, semua kontrak kuliah dari dosen garis besarnya adalah sama. Sehingga ia tidak mau menghabiskan waktunya untuk hal yang memang sudah diketahui mahasiswa pada umumnya.
"Bagaimana menurut kalian kuliah itu?" Tanyanya kepada kami. Karena tak satupun yang menjawab, diambilnya absen dan dibacanya satu per satu.
"Muddy Prascantika, bagaimana menurutmu kuliah itu?"
Aku yang terlanjur kaget, langsung mengangkat tanganku dan berdiri. Mata Pak Gito antusias menunggu jawabanku.
"Menurut saya, kuliah adalah bagian dari proses. Proses yang tidak semua orang dapat merasakannya. Karena kuliah adalah proses seseorang untuk mendalami pendidikan yang menjadi passionnya. Kuliah bukan hanya sekedar menambah wawasan ilmu, lebih luas dari itu, melalui kuliah seseorang dapat memperoleh banyak pengalaman yang menumbuhkan semangat untuk hidup, maju, berprestasi dan bernikerja tanpa batas, tanpa mengenal usia."
"Ya, betul sekali nak Muddy. Kuliah bukan hanya tentang ilmu tapi juga membuka wawasan dan pandangan tentang hidup yang sebenarnya. Meskipun tak banyak yang bisa melalui proses kuliah ini, bukan menjadi alasan kita untuk menyombongkan diri dan merasa paling hebat. Belum tentu hidup kita lebih baik dibandingkan mereka. Kelebihan kita yang punya kesempatan ini adalah prosesnya, pandangannya dan ilmunya. Baiklah cukup sekian pengenalan kita hari ini. Selamat sore."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sun Shine
RomanceKetika hati membuka pintunya kembali, ketika itu juga tampak sinar berkilau yang bernama cinta sejati.