Part 7

1 0 0
                                    

Sejak kejadian hari itu, Mira tak lagi pulang ke rumah. Ayah pun tak lagi menanyai keadaannya. Beda halnya dengan mama, yang terus menerus memikirkan keadaan Mira saat ini. Berulang-ulang menelpon tapi tak kunjung ada jawaban dari Mira. Mbak Sisca belakangan juga hanya berdiam diri di kamar, sesekali ke dapur hanya untuk memasak makanan untuk keluarga kami. Mas Hardy tak kalah diam dari mbak Sisca. Rasanya aku sedang dikelilingi orang-orang yang sedang patah hati.

"Ma, Yah, Hardy kayaknya memang harus pindah secepatnya. Ayah dan mama sabar ya. Tidak lama lagi Hardy dan Sisca akan menyelesaikan pembayaran muka rumah di dekat kantor."
"Kenapa nak? Omongan Mira jangan terlalu dipikirkan. Kasihan Puan dan Bambang masih terlalu kecil untuk dijaga sendiri oleh Sisca."
"Gakpapa Ma. Aku dan Sisca udah sepakat untuk keputusan ini. Dan gak ada hubungannya dengan omongan Mira waktu itu. Lagian Hardy juga sudah pernah bilang akan membeli rumah secepatnya."
"Yasudah kalau itu menjadi keputusan kalian. Tapi harus sering-sering mengunjungi keluargamu disini ya Har." Sambung ayah.
"Iya Yah pasti."

Sejak obrolan penting hari itu, rasanya aku ingin memarahi Mira karena perkataannya. Aku sudah beberapa kali mencarinya di kampus tapi tak pernah ketemu. Erga juga turut membantuku mencari Mira. Kami mendatangi tempat-tempat biasa Mira mengisi acara juga nihil. Apa sebenarnya yang ada dipikiran Mira sampai bisa seperti ini. Belakangan aku menemui file berbahaya di laptop. File itu berisi film dewasa. Aku sungguh sedih mengetahui hal itu.
"Kamu tenang ya Dy. Aku bakal berusaha mencari Mira terus buat minta penjelasannya. Kamu harus tetap fokus kuliah. Jangan buat orang tuamu kuatir."
"Iya Ga. Makasih ya."

Harusnya malam minggu ini aku bertemu dengan Erga. Namun dia minta maaf karena harus mengikuti latihan futsal dadakan sebagai persiapan turnamen yang sebentar lagi akan berlangsung. Sedikit kecewa untuk alasan yang diberikan Erga ini. Karena kami sudah beberapa hari tidak bertemu diakibatkan Erga harus pulang ke Jakarta menemui orang tuanya yang sedang sakit. Tapi apa boleh buat, aku harus menghargai hobi dan kesenangannya begitu pun dia yang selalu menghargai kesenanganku seperti menonton film di bioskop bersama dengan teman-temanku.

Besoknya Erga datang ke rumah. Ia bermaksud mengajakku jalan-jalan tapi karena ayah dan mama pergi berkunjung ke rumah mas Hardy sementara Herry pergi bersama temannya, jadi aku harus menjaga rumah. Erga tak masalah jika kami tidak bisa pergi keluar karena baginya tidak penting dimana kami bisa bertemu, tapi yang terpenting adalah bagaimana kami memaknai setiap pertemuan walau hanya mengobrol di rumah. Seperti biasa aku menghidangkan kopi hitam kesukaan Erga. Di rumah, hanya mas Hardy penyuka kopi, dan sejak mas Hardy memutuskan pindah rumah, mama tetap menyediakan kopi di rumah untuk dihidangkan jika Erga datang.

Hari ini Erga tampak berbeda. Biasanya dia selalu melakukan segala hal agar aku tertawa. Tetapi kali ini dia selalu fokus pada handphone. Aku berusaha tidak curiga dan bepikiran positif. Dia mendiamkanku cukup lama dan terpaku pada handphonenya. Beberapa panggilan pun ditolaknya setelah menatapku sebentar. Sesekali diangkatnya tapi menjauh dariku agar aku tak mendengar percakapannya. Kuberanikan untuk bertanya pada sikapnya yang tak biasa ini.
"Ga, liat apaan sih? Kok fokus banget?"
"Oh ini ada tugas kuliah yang udah deadline." Jawabnya namun tetap fokus pada barang itu.
"Tugas kuliah kok di handphone?"
"Iya hampir selesai jadi dari sini aja. Eh aku pamit pulang aja ya buat nyelesaiin tugas dan kirim ke dosen."
"Tapi ayah dan mama belum pulang, Ga."
Aku memang sedikit penakut jika harus sendirian di rumah. Karena itu aku hampir tidak pernah dibiarkan ayah sendiri di rumah, kadang ayah memanggil bibiku untuk menemani atau bahkan mengajakku kemana saja mereka pergi walau harus izin dari kegiatan sekolah untuk beberapa hari. Hal ini terjadi karena aku punya trauma yang mendalam dengan kesendirian. Beda halnya dengan Mira yang tak masalah meski berhari-hari ditinggal sendiri di rumah.

"Kayaknya om dan tante sebentar lagi tiba. Kamu pasti aman kok Dy. Jangan terlalu takut. Aku ada sedikit pekerjaan. Aku harap kamu mengerti."
"Baiklah, Ga." Kuantarkan Erga sampai ke teras rumah dan dia bergegas pulang.

Kesendirianku di ruang tamu membuatku bergidik. Hari memang masih sore, tapi perasaanku tak karuan mengingat pengalaman burukku waktu itu. Ketika aku SMA, aku memiliki seorang kekasih. Dia kakak kelasku. Saat dia akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dia sempat mengajakku berjalan-jalan. Saat itu ayah belum mengijinkanku untuk berpacaran karena aku baru saja meninggalkan tingkat menengah. Namun karena sangat menyukai Seno, kekasihku, aku mengiyakan ajakannya. Saat itu kami berpacaran tepat lima bulan. Kami berkeliling di mall. Dia juga mengajakku melakukan hal yang paling kusukai yaitu menonton di bioskop. Aku menunggu sementara dia membeli dan memilih tempat duduk untuk kami. Herannya, ketika kami masuk, bioskop hanya diisi oleh beberapa orang mungkin karena hari ini bukan weekend, dan Seno ternyata memilih seat di pojok. Aku tidak sempat berpikir yang aneh saat itu. Aku menikmati film yang sedang tayang. Suaraku sedikit menjerit ketika kurasakan tangan Seno menyentuh payudaraku. Untungnya, posisi kami lumayan jauh dari penonton yang lain. Aku refleks melepaskan tangan Seno dari payudaraku. Seno tersenyum dan kembali fokus menonton. Aku berpikir bahwa Seno tak sengaja. Baru sebentar fokus lagi pada film, aku dikejutkan lagi dengan tangan Seno yang mengelus paha dalamku. Saat itu aku memang menggunakan rok selutut.
"Kak, geli. Mudy lagi asyik nonton, kenapa digangguin terus sih?" Kataku cemberut.
"Kamu lebih asyik daripada filmnya, Dy."
"Maksud kakak apa?" Saat itu aku sungguh bingung dengan pernyataan Seno. Tapi aku mengabaikannya. Dia menarikku dan membawaku keluar dari bioskop.
"Kenapa keluar kak? Filmnya belum selesai, belum juga sampai pada klimaks!"
"Kita selesaikan berdua aja yuk. Lebih nikmat Dy." Dia terus menarikku ke area parkir. Saat hendak masuk ke mobil Seno, handphoneku berdering. Itu ayah. Ayah memberitahu bahwa ia dan mama pergi keluar sebentar dan aku diminta pulang.

"Siapa Dy?"
"Ayah kak."
"Ayahmu bilang apa?"
"Ayah dan mama pergi keluar. Aku disuruh pulang. Karena tidak ada yang menjaga rumah."
"Oh bagus dong Dy. Aku main ke rumahmu ya."
"Nanti kalau ayah tau gimana kak?"
"Gak lama kok aku mainnya Dy."
"Baiklah kak."
Selama perjalanan menuju rumahku, Seno selalu memandangku dengan senyum penuh arti. Genggaman tangannya tak lepas dari tanganku. Begitu tiba di rumah, aku memberikannya beberapa cemilan dan minuman kaleng.

"Kak, aku ganti pakaian dulu ya."
"Kenapa diganti Dy? Aku kan sebentar saja disini."
"Gerah kak."
"Gak usahlah Dy. Bagusan pakai rok begini. Eh nonton video yuk."
"Video apa kak?"
"Ini dari handphone kakak."
Seno meletakkan handphonenya di meja. Dan kami bersandar pada sofa agar bisa menikmati video yang dimainkan Seno dengan jelas. Baru lima belas menit video berjalan, aku mulai tidak nyaman. Adegan dewasa yang ditampilkan disana membuatku jijik dan geli. Aku menutup mata. Seno memaksaku membuka mata. Kurasakan tangan Seno membelai pahaku yang masih berlapis rok. Kuangkat tangan Seno dan melepaskannya dari pahaku.
"Geli ya Dy kalau tanganku disana?" Katanya dan menunjuk pahaku.
"I..iya kak."
"Nikmati aja Dy, lama-lama gak geli kok. Kamu kan pacarku Dy."
Kembali Seno meletakkan tangannya di pahaku. Aku menahan geli. Lama kelamaan Seno mengangkat rok ku hingga sebatas pinggang dan menampilkan celana dalamku yang berwarna pink.
"Kak, jangan. Mudy malu!" Saat akan mengembalikan rok pada posisi semula, Seno menahan tanganku.
"Jangan, ini nikmat Dy. Kamu tahan aja, nanti pasti enak."
Dia mengelus paha dalamku dengan sangat lembut membuatku merinding tak karuan. Seno juga memasukkan dua jarinya ke vaginaku melalui sisi samping celana dalamku.
"Kak.. Jorok." Kataku bergetar dan ketakutan. Seno diam. Ekspresinya tak terbaca. Seno terus mengocok jarinya di vagina milikku.
"Kak, Mudy mau pipis."
"Pipis aja Dy."
Seno mengocok vaginaku dengan ritme cepat dan akhirnya aku orgasme. Seno menjilat cairanku dan aku melihatnya dengan jijik. Seno tersenyum puas ke arahku.

My Sun ShineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang