Part 3

4 0 0
                                    

Hari ini adalah hari minggu. Aku terbiasa bangun siang. Tapi pagi ini berbeda. Puan tak kunjung berhenti menangis dan membuatku harus terbangun dan melihat jam ternyata jam tujuh pagi. Aku turun menuju lantai satu dan langsung ke kamar mandi karena kamar mandi di sebelah kamarku sedang digunakan Herry.
Rumahku tergolong rumah minimalis dan berlantai dua. Teras rumah dipenuhi tanaman mama. Di lantai satu, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Yang satu adalah kamar ayah dan mama sedangkan satu lagi adalah kamar mas Hardy dan mbak Sisca sekaligus Puan. Aku dan Mira berbagi kamar dan Herry menempati satu kamar lagi di lantai dua. Mira masih terlelap di mimpinya. Mbak Sisca terlihat sibuk dengan adonannya mungkin ada pesanan kue kering hari ini. Puan yang tak mau lepas dari gendongan mas Hardy dan tak kunjung berhenti menangis. Mama sedang menyirami tanamannya dan ayah sedang membaca koran dan sesekali berbicara dengan mama di teras.

"Puan kenapa mas?" tanyaku.
"Mau minta eksrim Dy, padahal masih pagi begini. Yah gak sehatlah."
"Puan, gak boleh loh makan eksrim pagi-pagi gini terus nanti kalau sakit gimana?" Kataku mengeluarkan rayuan maut untuk Puan.
"Puan mau esklim nte Diy." Katanya dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
"Yuk, yuk beli lollypop aja di minimarket sama om Herry, yuk!" kata Herry yang baru saja turun dari lantai dua.
"Ayuk!!" teriak Puan dan membuka tangannya untuk segera digendong oleh Herry.
Puan memang sangat manja. Selalu mencari perhatian. Kepalaku sering hampir pecah jika dia tak mau diam dari tangisnya.
"Her, aku ikut dong. Mau beli sesuatu juga." Kuambil hoodie bekas pakai semalam agar aku tak kedinginan dengan cuaca pagi ini. Kuletakkan Puan di tengah, diantara aku dan Herry. Dia terlihat senang naik motor dan sesekali meminta berdiri dengan meletakkan tangannya di pundak Herry. Sebenarnya posisi ini cukup bahaya untuk Puan, tapi jika aku tak mengizinkannya pasti dia kembali menangis.

Saat aku sibuk mencari keperluanku dan berpisah lorong dengan Herry, aku bertemu dengan Erga. Dia sedang membaca kandungan bahan makanan. Aku menyapa dan tersenyum padanya.
"Kak Erga, sedang apa disini?"
"Eh, Dy, lagi cari bahan makanan yang tahan lama buat anak kos. Kamu sendiri sama siapa kesini?"
"Sama adik dan keponakanku kak. Mereka disana." Kutunjuk ke arah Herry dan Puan berdiri.
"Oh. Itu adikmu. Kamu udah selesai belanjanya?"
"Udah kak, ini mau ke kasir." Erga mengikutiku berjalan ke kasir.
"Mbak, tagihan belanja mbak cantik ini, saya yang bayarin ya."
"Iya mas." jawab kasir.
"Gak usah kak Erga. Saya bayar sendiri aja."
"Gakpapa. Kapan-kapan kalau aku butuh bantuan kan bisa gantian." Kata Erga dan ia mengedipkan matanya padaku. Aku segera berjalan dan pamit pada Erga. Karena Puan dan Herry sudah mulai bosan menungguku.

"Dy, ini untuk keponakanmu." Rupanya, Erga mengikutiku keluar dan memberikan roti balita untuk Puan.
"Makasih kak."

Erga bukan lelaki biasa. Dia sangat berkharisma tanpa harus memperlihatkannya. Dia ramah dan sopan. Dia kembali mengedipkan matanya saat motor Herry hendak berjalan meninggalkan minimarket. Dengan celana selutut dan kaus putih polos, Erga terlihat semakin menawan. Senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya membuatku selalu terpesona.

"Dy, kamu sibuk gak?"
"Enggak kak. Kak Mira mau kemana pagi-pagi udah rapi banget?"
"Aku ada job dance. Tadi mbak Sisca minta ditemeni ke mal mau cari perlengkapan masak. Kamu temeni gih, kakak gak bisa soalnya."
"Yah kak, aku payah masalah masak memasak. Kan kak Mira lebih ngerti."
"Aku udah bilang kok ke mbak Sis, kamu yang nemenin. Temenin doang gak minta saran dia."
"Iya deh.." Sebenarnya aku ingin menyelesaikan tugasku yang besok harus dikumpulkan. Tapi aku tak enak hati harus menolak mbak Sisca. Mira dan mbak Sisca sering kolaborasi memasak. Karena itulah, kami jarang sekali membeli makanan diluar, semuanya serba buat sendiri.

Saat aku menunggu mbak Sisca memilih perlengkapan masak, aku melihat Erga lagi. Dia sedang bersama seorang perempuan yang sedang memilih perlengkapan memasak juga. Jarak kami agak jauh jadi aku tak perlu takut jika terlihat oleh Erga.
"Dy, kamu disini sebentar ya. Mbak mau ke rak di ujung sana."
"Iya mbak."
Wanita di sebelah Erga tampak sedang antusias menanyai pendapat Erga tentang panci yang sedang dipegangnya. Wanita itu cantik dan sepertinya sebaya dengan Erga. Rambutnya sedikit pirang dan digerai sempurna. Ah aku cemburu melihat keserasian mereka berdua.
Aku menunggu mbak Sisca mengantri di kasir. Dan kembali aku melihat Erga dan wanita itu menuju kasir. Aku pura-pura sibuk memainkan handphone, padahal tak ada chat yang masuk. Hanya melihat beranda instagram yang sebenarnya belum ada update sejak tadi.
"Dy, kamu sedang apa?" Erga menyapaku.
"Oh, eh kak Erga. Tuh lagi temenin kakak iparku bayar di kasir." Aku ingin bertanya soal wanita itu, tapi tidak jadi. Wanita itu tiba-tiba mundur dan mendekati Erga.
"Ga, kayaknya yang tadi aja deh. Bentar aku ganti dulu."
"Aku aja Rek. Kamu tunggu disini aja."
"Kamu emang yang terbaik Ga." Kata wanita itu sembari memberikan panci kepada Erga.

Reka, dia Reka. Aku tahu namanya setelah berkenalan singkat. Ternyata Reka juga mahasiswi psikologi dan dia pun ternyata mengenalku karena kami bergabung dalam organisasi paduan suara yang sama. Pantas saja aku seperti pernah melihatnya. Dia adalah saudara kembar Raka, pacar Fira. Wajahnya tak jauh beda dari Raka. Kami ngobrol singkat soal paduan suara sambil menunggu mbak Sisca. Belum lagi Erga tiba, mbak Sisca sudah buru-buru mengajakku pulang, karena Puan sudah menangis di rumah.

My Sun ShineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang