empat

26 3 3
                                    

"Kak, nanti kita pulang lewat tempat tadi ya?" aku bertanya kepada Kak Wira sembari menyingkirkan piring dan gelas yang telah habis kulahap

"Iya, kenapa? Takut ya?" meski dengan keadaan mulut yang mengunyah, Kak Wira tetap menjawab pertanyaanku dengan santai

"Hah enggak, maksudku nggak ada jalan lain apa? Yang tadi sepi, kan bahaya kalo malem,"

"Bilang aja kalo takut, lagian baru jam 7 gini nggak bakal ada begal," jawabnya setelah meneguk teh hangat miliknya

Aku tak menjawab, hanya mengangguk kecil kemudian mengambil ponselku dan mencoba mengapload foto yang telah diabadikan tadi. Yang agak tidak mengenakkan adalah, sudah tiga kali aku mencoba mengupload, gagal dan selalu gagal. Setelah aku cek, ternyata sinyalnya pergi entah kemana. Kuletakkan saja ponselku di meja dengan ekspresi geram

"Kenapa?" tanyanya sedari tadi memperhatikanku

"Nggak ada sinyal," jawabku mendengus kesal

"Nah, tanda-tanda nih" aku mengernyitkan dahi mempertanyakan apa yang dimaksudnya

"Hah?"

"Iya, kamu tau nggak jalan yang kita lewatin tadi?" Kak Wira sepertinya akan menakut-nakutiku

"Nggak usah nakut-nakutin deh kak, aku nggak takut," kataku sok berani

"Aku nggak nakut-nakutin. Tanjakan yang kita lewatin tadi katanya angker loh. Sering kejadian disana kecelakaan, dan katanya kalau ada yang lewat malem-malem suka digangguin," Kak Wira bercerita layaknya seorang ahli menakut-nakuti.

"Aku nggak takut, aku pernag lewat jembatan ancol sendirian, malem-malem lagi," aku memamerkan pengalamanku sendiri yang menurutku cukup mengerikan.

"Terus kamu diapain?"

"Aku nggak diapa-apain lah, ada juga setannya yang takut sama aku," dengan gagah, aku memamerkan kepercayaan diriku.

"Takut kenapa? Ada juga setannya nyari yang ganteng, berarti kamu masih kurang ganteng. Coba aku yang disana,"

"Kenapa kalo disana? Mau diajak pacaran?" tanyaku sedikit mendahuluinya

"Ah enggak, aku nggak ada waktu cuman buat lewat jembatan. Banyak masalah kerajaan yang harus aku selesaikan," jawabnya sok seperti layaknya seoarang pangeran

"Hah kerajaan?"

"Iya, liat nih," Kak Wira menyodorkan foto Prince Mateen yang ada di ponselnya.

"Nggak mirip ah, ada juga ganteng dia," maaf kak aku bohong, aku malu dong kalo bilang iya kak, kakak gantengnya sama kayak dia uww uww uww. Nanti dia malah jadi risih lagi

"Iri mah bilang aja," Kak Wira berlagak sombong sambil merogoh dompet didalam sakunya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan pergi untuk membayarkan kepada ibu penjual.

Kami langsung meninggalkan pantai itu tepat di jam 20.00 WIB. Sama seperti tadi aku mengeluarkan kembali ponselku dan membuka google map. Ini ada sinyal, warungnya tadi aja mungkin yang bikin susah sinyal.

Kembali kami melewati area hutan dengan batuan besar di samping kanan kiri. Kali ini ada yang berbeda, yaitu suasana udara yang dingin menembus jaket yang aku kenakan. Berbeda dengan Jakarta yang di jam segini suasana masih panas.

Kami melewati jalan yang sama seperti berangkat tadi. Sesuai dengan google maps yang aku buka. Entah Kak Wira merasa kedinginan atau tidak, tapi dia memperlambat laju motornya.

"Kak Wira ngerasa dingin nggak sih?" aku bertanya kepada Kak Wira, sesekali tak apa lah aku menunjukkan kepedulianku.

"Iya, nggak kayak biasanya," Aku mulai merasa tidak enak setelah dia mengatakan nggak kayak biasanya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Petikkan OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang