Bagian 1

37 3 0
                                    

Cerita Fiksi
Mohon maaf jika ada kesamaan tokoh, nama, tempat, dll.

***

Pernikahan seakan menjadi topik terhangat semua orang. Pertanyaan kapan nikah tak hentinya menerorku di setiap kesempatan. Ibarat 'kapan nikah?' sudah menjadi santapanku belakangan ini. Yang membuatku tidak habis pikir, dikira menikah seperti diskonan? Siapa cepat dia dapat, asal barang cocok hargapun tak masalah yang penting sampai ditangan?

Umurku yang sudah memasuki dua puluhan, menjadikanku target yang tepat mengingat sampai umurku yang kedua puluh empat tahun ini masih betah dalam kesendirian.

Menurutku pernikahan bukan sekedar ijab kabul lalu sah. Bahkan aku sendiri suka gemes ketika ada yang mengatakan, "Kapan Nikah, Sa? Nikah itu enak lho. Nanti nyesel kenapa nggak segera menikah."

Mungkin mereka pikir menikah cuma mikir enaknya doang. Padahal aku tahu dalam pernikahan tidak selalu ada manis-manisnya saja. Kadangkala pahit menjadi pelengkap dalam pernikahan. Mereka saja yang katanya saling mencintai, setelah menikah tidak selalu romantis juga. Percekcokan seakan sudah biasa terjadi. Namanya juga dua kepala yang disatukan tentunya tak akan satu pemikiran.

Lagi, bagaimana aku akan menikah jika seseorang yang kutunggu tak kunjung datang melamar. Tidak mungkin kan pernikahan nggak ada mempelai prianya?

"Awas baper!"

Lamunanku buyar seketika. Menoleh ke samping guna memastikan siapa pelaku yang sudah menegurku. Aku mendengus ketika yang aku lihat Bang Aqmar yang memasang cengiran khasnya.

Menemukan kehadiran Bang Aqmar di sini bukanlah hal yang perlu di pertanyakan. Aku sudah tahu bahwasanya dia adalah sepupu dari Fadlan setelah acara lamaran resmi Asma dan Fadlan. Makanya tidak aneh jika ia datang di pernikahan mereka.

"Nggak baper, Bang. Cuma sudah terlanjur kebawa perasaan dari pertanyaan 'kapan nyusul?'." Kataku dengan pura-pura memasang raut sedih setelah mengembalikan atensi ke depan, dimana kedua mempelai pengantin berada.

Mendengar itu, Bang Aqmar tertawa pelan. "Makanya nikah!" Katanya kemudian.

Aku mendelik padanya. "Kita lihat siapa yang bicara tadi. Sendirinya belum nikah sok sok-an nyuruh nikah," Sindirku.

"Abang mah gampang, Sa. Kalau Abang mau besok bisa aja langsung nikah. Cuma ya gitu, Abang belum ketemu yang cocok saja sih." Katanya jumawa.

Aku mendengus, "Pergi deh, Bang. Maaf nih, Khansa nggak mau lagi bahas nikah udah kenyang."

"Ya Allah ... sensi banget, Sa. Lagi PMS?" Bukannya pergi, Bang Aqmar malah semakin menggodaku.

"Ihh ... Khansa lagi pengen sendiri Bang."

"Abang temanin. Cewek sensi jangan sendirian." Katanya dengan tawa yang berderai dan aku biarkan saja, malas meladeni. "Abang mau ambil makanan, kamu mau diambilin juga?"

"Boleh deh," Aku memasang cengiran padanya. "Kebetulan perutku belum isi apapun semenjak tadi siang dan barusan bunyi nih gegara Abang menyebut makanan."

Bang Aqmar menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Lalu berlalu menuju stand makanan.

Hari ini adalah hari pernikahan adik sepupuku yang lebih muda satu tahun denganku, Asma. Tiga bulan yang lalu, Om Farhan adik ayah kedatangan pemuda shaleh yang melamar putrinya secara resmi. Kebetulan prosesnya begitu cepat. Asma dan calon suaminya, Fadlan memang saling mencintai.

Dari cerita Asma, mereka saling mengenal sejak dalam satu organisasi kampus yang melibatkan mereka. Seringnya intensitas pertemuan diantara mereka, membuat benih ketertarikan itu muncul. Yang aku tahu, mereka baru maju ke tahap yang lebih serius saat mereka sama-sama selesai kuliah. Entahlah bagaimana ceritanya. Sekarang mereka sudah menjadi suami istri.

"Nih!" Bang Aqmar datang membawa dua piring makanan di kedua tangannya. "Abang lupa tadi nanyain kamu mau apa, jadinya Abang ambil acak aja." Lanjutnya setelah duduk di kursi sampingku tapi terjeda satu kursi.

Aku menerima piring yang disodorkan oleh Bang Aqmar. "Makasih Bang." Kataku kemudian menyantap makanan setelah membaca doa terlebih dahulu.

"Sama-sama." Sahut Bang Aqmar.

Aku melihat Bang Aqmar sekilas. Pria berkulit sawo matang itu ikut menyantap makanannya setelah samar ku dengar dia membaca doa.

Pria yang biasanya hanya menyisir rambutnya tanpa gel rambut itu, hari ini tampil berbeda. Rambutnya disisir ke belakang dengan tambahan gel rambut yang membuatnya tampil klimis. Dia menggunakan batik berwarna dasar Navy lalu celana bahan warna hitam. Penampilannya ini membuat pria berlesung pipit ini semakin tampan.

Awalnya aku tidak menyangka bisa kenal akrab dengan Bang Aqmar. Karena pertemuan pertama kali dilalui oleh rasa canggung.

***

Waktu itu sore hari, aku baru pulang dari kampus. Dan menemukan laki-laki itu di teras depan rumah.

"Mas cari siapa ya?" Tanyaku setelah beruluk salam yang dijawab laki-laki itu.

"Saya ..."

"Dek, sudah pulang?" Suara abang pertamaku yang muncul dari dalam rumah sambil bawa minuman memotong ucapakan laki-laki itu. "Naik apa?"

"Iya, Khansa naik angkot. Abang sih motorku pake dimasukin ke bengkel. Minta jemput malah ngak bisa jemput." Jawabku sambil mengerucutkan mulut.

"Pokonya ganti uang ongkosnya ya." Aku memasang tampang innocent ke arahnya yang di balas dengusan oleh abangku itu.

"Iya," Katanya lalu menghidangkan minuman yang dibawanya ke depan laki-laki yang hampir aku lupakan keberadaannya itu. "Diminum, Mar!"

"Eum ... Khansa ke dalam dulu ya, Bang."

Aku sudah bersiap masuk ke dalam rumahsebelum di cegah Abangku. "Heh! Kenalin dulu ini teman Abang, namanya Aqmar."

Oh ... temannya Bang gus. Kataku dalam hati.

"Dan, Mar. Kenalin, Khansa adikku satu-satunya."

Aku melihat laki-laki yang Bang Gus kenalin sebagai Aqmar itu tersenyum simpul yang juga ku balas senyum canggung sebelum pamit undur diri masuk ke dalam rumah.

***

"Kamu bareng siapa kesini?"

Aku berkedip sekali, "Apa?" Tanyaku memastikan bahwa dia berbicara padaku.

"Kamu kok sendirian, kamu bareng siapa kesini?" Katanya ulang.

"Oh ... bareng yang lain sih, Bang. Cuma menyingkir saja dari mereka. Capek bahasnya nikah terus." Kataku sebelum Mengambil air botol kemasan lalu meneguknya, satu--dua teguk.

Tawa Bang Aqmar berderai, "Sepertinya memang melelahkan sekali ya."

"Banget." Sungutku sambil meletakkan piringku yang sudah kosong di meja sebelah piringnya Bang Aqmar yang sudah kosong juga. Eh?! Kapan dia selesainya makan ya? Pikirku.

Mengedarkan pandangan, mataku tanpa sengaja menemukan sosok jangkung pemuda berkemeja abu-abu sedang berbincang dengan seseorang dari arah jam sembilan tak jauh dari tempatku berada. Lalu pandangan kami bertemu dalam satu arah.

Gawaiku berdenting menandakan pesan masuk. Aku merogoh alat eletronik milik sejuta umat itu dari dalam tas slempang kecil milikku. Mataku membola setelah melihat siapa pengirim pesan itu.

Aku kembali mengarahkan pandangan padanya yang juga tengah melihat ke arahku seraya tersenyum yang aku balas senyum canggung juga. Di ikuti jantungku  yang tiba-tiba berdetak cepat.

Dylan:
Assalamu'alaikum, Sa. Kejutan mendapati kamu di acara ini juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang