Stasiun Jakarta Kota

6 1 0
                                    

Pisah kita menuju temu tatkala sore membakar kulit.

Di ujung peron lima, aku tenggelam dalam danau manusia. Tak terlalu ramai memang untuk disebut lautan manusia.

Banyak pertemuan yang telah disaksikan oleh stasiun ini. Pertemuan kita salah satunya.

Kereta tujuan Jakarta tiba. Dari balik pintu kereta komuter, kau muncul dengan sedikit tergopoh. "Hampir saja telat," katamu.

"Yuk," sambutku.

Kota Tua dan Museum Bank Mandiri menjadi destinasi yang telah kita janjikan untuk kunjungi sejak lama. Sebuah sudut kota yang umum sekali dijadikan tempat menghabiskan akhir pekan oleh keluarga, pasangan, bahkan mereka yang sudah seperti pasangan.

Syahdan, tidak ada yang istimewa dari Kota Tua sore itu.

Kalaupun ada, maka satu-satunya yang istimewa adalah kau.

Ibarat Hukum Newton, aksi-reaksi :

"Jika ada aksi, maka ada reaksi".

Jika ada kau, maka ada saja memori yang tercipta. Entah manis ataupun pahit.

Tanpa terasa, temaram menghampiri kita ketika letih berkeliling. Stasiun Kota menjadi titik bifurkasi malam itu. Tepat di ujung peron lima, temu kita kembali menuju pisah.

Banyak perpisahan yang telah disaksikan oleh stasiun ini. Perpisahan kita salah satunya.

Keretamu tiba tatkala kau tengah sibuk mengunyah cilok panas yang akhirnya kau sodorkan padaku —karena di kereta tak diperbolehkan mengonsumsi makanan.

"Terima kasih untuk hari ini", sebusur senyuman, dan lambaian tangan menjadi kombinasi terbaik darimu.

Perjalananmu mungkin akan panjang. Sangat panjang, hingga tak tahu kapan harus berhenti.

Entahlah, mungkin nanti aku akan berada di ujung relmu, entah orang lain.

Hati-hati di perjalanan.

SenandikakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang