Chapter 1

782 72 6
                                    


Gejolak emosi yang hadir di tengah gerimis. Sebuah tangis akibat air mata yang tidak dapat terbendung, ditujukan pada seseorang dengan hati pilu tanpa kepalsuan. Mengaburkan pandangan dan melumpuhkan kemampuannya untuk bergerak—beranjak dari daun pintu dan telungkup di atas tempat tidur.

Taehyung terisak-isak, hati pemuda itu bergetar; memohon dalam diam pada seseorang di depan kamarnya untuk mendobrak pintu, lalu menolongnya, keluar dari segala rasa sakit yang mencekik relung hati.

Tapi, hingga detik berganti menit dan lampu ruang tamu telah dimatikan, tidak ada tanda bahwa sosok yang Taehyung inginkan masuk ke kamarnya. Tidak untuk sekedar mengetuk pintu. Tidak untuk menyuruh Taehyung makan malam. Bahkan, seolah tidak berniat menenangkan dan meredakan isak tangisnya.

Taehyung mulai membuka mata, air mata yang mengering membekas menyedihkan di pipi. Jari lentiknya mengusak kasar air di pelupuk mata yang mulai menggenang kembali. Ia beranjak dari tempat tidur adiknya. Melangkah gontai ke arah pintu. Dengan jari bergemetar, Taehyung memutar knop pintu yang tadi ia kunci.

Langkah lesunya menelusuri ruang bagian depan susunan rumah. Meja dan sofa tamu tampak samar dalam pantulan cahaya bulan yang menyusup masuk melalui celah tirai yang tidak tertutup rapat.

Taehyung melihat adiknya tidur melungkar di salah satu sofa, tanpa selimut. Tanpa bantal. Diulurkannya tangan menyentuh helaian rambut adik tersayangnya—Kim Jungkook.

"Kookie, kenapa tidur di ruang tamu?" bisiknya. Taehyung tahu Jungkook telah terlelap, jatuh ke jurang alam bawah sadar hingga tidak mendengar bisikan, serta tidak merasakan segala sentuhan penuh kasih sayang yang ia berikan.

"Kookie, aku—tidak ingin menjadi kakakmu."

.
-ooOoo-
.


Jungkook terbangun diesokan paginya, mendapati beban serta pelukan hangat. Ruang tidurnya menjadi lebih sempit ketimbang—sebelum ia terlelap.

Pagi hari yang berkabut menjadi saksi bisu, bagaimana Jungkook mendapatkan serangan fibrilasi atrium dadakan. Dimana kerja pompa jantung tidak terorganisir. Berdegup—kontrak sangat cepat dan tidak teratur. Hentakannya memukul lebih dari 100 kali dalam satu menit. Di detik ini jika Jungkook tidak segera tersadar dari angan semu yang indah, mungkin ia sudah terkena serangan jantung atau stroke.

Terima kasih pada hukum gravitasi yang telah menyadarkannya, bahwa ini bukan cinta semanis madu, namun sepahit empedu.

Cinta yang jika boleh, ingin Jungkook patahkan.

Cinta yang jika boleh, ingin Jungkook putar kembali waktu. Merambat di kala lalu, saat perasaan masih polos dan sesuci surga. Bukan cinta kotor yang Tuhan pun tidak akan merestui.

Tetapi terkadang, Jungkook juga ingin menjadi serakah seperti Mammon, memangku harta untuk dirinya sendiri. Harta berharga yang tidak ternilai nominalnya—Kim Taehyung.

Pemuda cantik yang kini berada dalam pelukannya, menahan berat tubuh mereka agar tidak terguling dari sofa.

Dikecupnya kening Taehyung sebagai ungkapan rasa tulus dari cinta.

"Aku mencintaimu, Taetae-hyung."

Dalam diam tanpa membuka mata. Dalam degup jantung tidak berirama, Taehyung menjerit di dalam hatinya mendengar ungkapan Jungkook.

Semua rasa ini salah. Mereka tidak ditakdirkan untuk dapat bersatu, walau selamanya mungkin bersama.

.
-ooOoo-
.


September 2016

Taehyung merutuk kebiasaan buruknya, penyakit pikun dadakan yang seringkali muncul tanpa pernah diundang. Seminggu lalu, Taehyung masih ingat mengenai ulang tahun Jungkook. Ia bahkan sudah memutar otak, mencari ide tentang kado apa yang akan diberikannya untuk Jungkook.

Apple of My Eyes (DISCONTINUED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang