Chapter 09

8 8 1
                                    

Kriett…”

Kirana spontan terbangun mendengar suara pintu rumahnya terbuka. Beberapa detik terdiam Kirana baru tersadar, siapa orang yang datang bertamu sepagi ini? Kirana bergegas mengambil sapu yang terletak dibelakang pintu kamarnya, bersiap untuk keluar kamar dan memastikan. Mungkinkah orang-orang yang kemarin itu?

Dibukanya pintu kamar perlahan, mengintip. Bukan orang jahat yang ia temui, tapi Kirana justru dibuat terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.

“Ibu?” Kirana melangkah keluar kamarnya, berjalan menuju ibunya dengan berbagai pertanyaan yang sudah berputar dikepala.

“Ibu dari mana aja? Kenapa baru pulang sepagi ini, Bu?”

“Dari mana pun Ibu, itu bukan urusan kamu,” jawab ibunya dingin.

“Tapi Bu, Kano itu semalem nungguin Ibu, dia juga belum makan. Bu–”

“Sudahlah, Ibu cape mau istirahat. Kamu masih kecil, gausah ikut campur urusan Ibu,” ucapnya memotong perkataan Kirana yang belum selesai.

Ahh. Hilang sudah ke khawatiran Kirana pada ibunya yang tadi sempat dipikirkan. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh Ibu sampai dia bersikap seperti ini? Bilang pada Kirana bahwa ia masih kecil, jadi jangan ikut campur urusannya. Padahal dengan sikapnya seperti itu justru sangat tidak menampik kan sifat dewasa sama sekali.

Kirana menghembuskan napasnya perlahan, melihat jam di dinding baru pukul 05.25 pagi. Sungguh pagi yang luar biasa untuk Kirana, dimana ia diajarkan bagaimana menjadi dewasa yang sebenernya oleh sikap ibunya. Kirana menarik napas lagi, kali ini dalam-dalam ditariknya. Ia menghirup sisa-sisa udara positif untuk energinya hari ini.

***

“Mereka bilang kita masih terlalu muda,
Tapi yang tua belum tentu dewasa.
Dewasa itu proses, dewasa itu pilihan.”

Kirana sudah rapih dengan seragamnya, tapi tidak dengan pikirannya. Ia masih tidak habis pikir dengan sikap ibunya yang seperti itu. Seolah kepergian bapak tidak ada artinya, seolah tidak ada apa-apa bagi ibu. Harusnya ia bisa lebih memahami keadaaan keluarganya saat ini, menangkan anak-anaknya, dan memberi mereka semangat hidup lagi. Bukan malah seenaknya pergi dan menambah kekhawatiran lagi. Hah. Kirana tidak habis pikir lagi.

Kirana menoleh pada adiknya yang masih tertidur, ia tatap bintang kecil itu lamat-lamat. Tinggal ia satu-satunya alasan Kirana masih bertahan dan kuat sampai saaat ini. Kirana memutuskan untuk terus bekerja keras demi adiknya itu, agar ia mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi nantinya. Semoga.

“Huuaahh …”

“Kano udah bangun? Laper ga? Mau Mbak masakin apa buat makan pagi ini?” tanya Kirana sambil duduk disamping Kano dan mengelus lembut kepalanya.

Entah kenapa, mengelus kepala sang adik sudah menjadi kebiasaan turunan dari bapaknya. Andai saja bapak masih ada, pasti sekarang bapak yang menenangkan Kirana dan Kano dengan cara-caranya yang lembut, dengan kata-kata hangat yang menyerukan untuk kuat. Duh. Kenapa jadi memikirkan bapak, sekarang yang harus Kirana pikirkan adalah adiknya.

“Mbak, Kano mau nasi guuoowwreeng …” ucap Kano sambil menguap melepas kantuk.

“Oke, Mbak bikinin, ya. Sekarang Kano cuci muka dulu, terus tunggu aja di meja makan, nanti Mbak bawain nasi gorengnya”

Kirana melangkah keluar kamar dan menuju dapur, sementara Kano mencuci mukanya dan menunggu di ruang tengah. Tidak butuh waktu lama bagi Kirana yang handal memasak jika hanya sekedar membuat nasi goreng. Terlebih sekarang sudah pukul 06.30, sudah waktunya untuk Kirana berangkat sekolah.

“Nasi guuuowwreeng datang! Hahaha …”

“Wihh … Kano pasti lahap nih kalo makan masakan Mbak Kirana,” puji Kano melihat masakan Kakaknya. Biasanya jika ibu yang memasak, Kano bisa hampir siang hari baru makan. Karena itu Kano senang sekali kakaknya mau memasakkan.

Disisi lain, Kirana merasa senang sekali melihat adiknya tetap semangat dan ia bersyukur memiliki adik yang tidak mudah muram dan putus asa. Membuat Kirana ingin lebih kuat lagi untuk adiknya itu.

Kirana lihat lagi jam di dinding, ternyata sudah pukul 06. 45. Oh, tidak. Sekolahnya akan masuk 15 menit lagi. Dia harus bergegas. Kirana segera ke kamar mengambil tasnya dan merapihkan baju, sedikit mengaca untuk merapihkan rambutnya juga. Setelah selesai, ia langsung ke ruang tengah untuk menemui adiknya.

“Dek, Mbak Kirana berangkat dulu ya. Kamu dirumah yang baik, kalau main hati-hati ya. Jangan sampai terlalu sore,” sedikit nasihat pada Kano agar ia tahu apa yang harus dilakukan.

Kano mengacungkan dua ibu jarinya dan melemparkan senyum yang gemas sebagai jawaban, kemudian melanjutkan makannya lagi.

“Yaudah, Mbak berangkat dulu ya. Dah …” Kirana melambaikan tangannya sebagai perpisahan.

“Hati-hati, Mbak.” Kano balas melambaikan tangannya.

Kirana pun berangkat dengan perasaan dan pikiran yang berbeda lagi hari ini. Dengan pemahaman dan tujuan baru, dengan beban dan tanggung jawab baru. Dan, dengan keterlambatan waktu.

***

Lintang Aksama [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang