1 - Bubur ayam

33 2 0
                                    

Tanganku menopang daguku dengan malas. Sekuat tenaga aku mengusir kantuk yang menyerang sedari tadi. Tak terhitung berapa kali aku menguap semenjak mendudukkan pantatku diatas kursi panjang ini.

Sedikit heran kenapa warung bubur ayam langgananku yang biasanya sepi tiba-tiba saja hari ini begitu ramai.

Oh mungkin karena disampingku kini ada Jenan, cowok ganteng dengan senyuman manisnya.

Dasar cowok sialan itu. Membangunkanku pagi-pagi sekali lalu berlari mengelilingi komplek perumahan kami.

Padahal dia tau sendiri aku selalu insomnia dan kekurangan tidur.

"Nih dah dateng bubur ayamnya, nggak pakai kacang sesuai pesenan lo."

Aku melirik malas padanya, bisa-bisanya kini ia malah tersenyum lebar. Kalau saja ini bukan di tempat umum sudah ku jambak-jambak rambutnya.

"Doa dulu tolol." Aku hanya mendengus malas padanya.

"Pencitraan dih, biasanya solat jumat aja nunggu sampe kotbah selesai baru dateng juga."

"Iya dong di depan cecan tuh harus pencitraan, tuh cewek-cewek yang didepan kita barusan minta nomor wassap gua. Inceran gue yang ada poninya."

"Taubatlah nak." Jenan mengambilkan mangkok sambal di ujung meja, hafal dengan kebiasaanku yang tidak bisa makan bila tidak pedas. Berbeda dengannya yang sama sekali tidak bisa makan pedas.

"Ntar kalau gue udah dapet pacar selevel Anya Geraldine, gue taubat dah."

"Iyain dah, ga sekalian langsung macarin Anya?"

"Lah iya juga, kenapa baru sadar."

"Udah ya makan dulu, gue adukin sini buburnya."

"HEE TOLOL JANGAN!" aku tertawa puas setelah membuat bubur di mangkok jenan menjadi acak-acakan.

"Pokoknya gue mau dibikinin yang baru. Yang ini lo makan." Ia merengut sebal dan menyodorkan mangkok bubur miliknya.
Seperti itulah bentukan Jenandra, sahabat sejak masih tadika mesra. Semua yang ada padanya pasti berkebalikan denganku. Bila dia tim bubur nggak pakai diaduk maka aku tim diaduk.

Bila dia alergi pedas malah aku tidak bisa makan bila tidak pedas. 

Kalau aku 24/7 mager dan tidur malah dia selalu saja tidak bisa diam. Entah bagaimana persahabatan kami tetap awet meskipun selalu berkelahi.

Ah mungkin karena Jenan orangnya dermawan, seperti saat ini.

"Pak bayar bubur nya tiga mangkok." Aku tersenyum bahagia, pagi-pagi sudah sarapan dua mangkok bubur gratis. Siapa yang tidak bahagia?

"Ayo lari lagi, udah punya tenaga kan?"

"Nggak! Gamau! Perut gue lagi penuh-penuhnya. Mau pulang aja."

Jenan menarik tudung hoodie ku.

"Heehh siapa yang ngebolehin lo pulang sekarang? Sampe rumah pasti cuma balik molor kan lo!"

"Yaudah iya! Tapi jalan aja, jangan lari."

"Huu, kek ayam lo diem terus kayak mau bertelor." Aku menyengir lebar padanya.

Akhirnya kami hanya berjalan di sekitar komplek dengan Jenan yang masih menggerutu.

"Tau gini gue ngajakin temen-temen cowo gue."

"Yang nyuruh lo ngajakin gue juga siapa dodol! Udah tau gue anaknya ga suka lari juga."

"Sebagai sahabat yang baik hati gue tuh mau bantuin lo ngilangin lemak di paha sama perut lo." Aku manajamkan mataku padanya

"Sejak kapan lo tau paha gue berlemak?"

"Ya kan kalo tidur lo sering gak pake celana."

"UDAH DIBILANGIN GABOLE NGINTIP!"

Jenan selalu memiliki seribu satu cara untuk membuatku berlari-lari sepagi ini. Seperti saat ini dimana dia malah mengolok-olokku dan aku sibuk mengejarnya.

Jenan dan ulahnya memang sesuatu yang takkan aku dapatkan dari laki-laki manapun di dunia ini.

RELATIONSHIT || Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang