Manusia hidup berdampingan dengan kematian setiap waktunya yang bermetamorposis dalam berbagai bentuk. Kematian akan kepedulian, perasaan, harapan, dan berujung pada hilangnya kesempatan untuk tinggal di dunia. Matinya mimpi-mimpi liar, imajinasi tak mengenal batas, kebebasan terhadap kekuatan kakinya dalam berdiri di atas nuraninya sendiri.Dengan ke-mahasemesta-an Tuhan, manusia diciptakan untuk mengatasi itu semua dengan diberikannya kekuatan akal, pikiran, hati untuk mendamaikan diri pada kematian. Banyak dari mereka yang sebenarnya bukan takut terhadap kematian, melainkan proses diantara hidup dan mati yaitu rasa sakit. Dimana di proses itulah mereka merasakan ketidakmampuannya atas apa-apa yang baru disadari ternyata di luar kuasa mereka.
Tetapi, dengan kekuatan yang diberikan Tuhan, manusia secara terus menerus berusaha menciptakan obat untuk berdamai dengan kematian dan rasa sakit. Berdasarkan kepada cara berfikir yang sama, obat yang diciptakan pun mengikuti bentuk rasa sakit dan kematian yang sedang dihadapi.
Ada obat terhadap matinya harapan, ada obat terhadap matinya kepedulian dan perasaan,
berujung pada obat pada fisik manusia.Disini saya ingin sedikit memberikan sudut pandang tentang salah satu jenis obat yang sering saya gunakan.
Ini mungkin akan sedikit kontroversi.
Tarik nafas dulu lalu coba dipahami..
Kebencian.
Seringkali saya menanamkan kebencian terhadap orang lain dengan keyakinan bahwa rasa benci yang ditanamkan akan menjadi katalisator seseorang untuk berdamai dengan rasa sakitnya. Seperti menanamkan "virus" yang sudah direkayasa sedemikian rupa untuk nantinya menepis virus serupa dikemudian hari. Menyakitkan dan beresiko, namun bertujuan baik. Terdengar seperti pembelaan akan dosa, namun benar tulus seperti itu adanya. Untuk manusia penuh gengsi tapi melodramatis seperti saya, sangat cocok untuk digunakan.
Kita memang tak akan pernah bisa mengetahui isi hati seseorang. Tapi, itu pun berlaku pada diri sendiri. Hanya kita yang tahu apa isi hati kita. Kita adalah tuan dari hati kita. Maka, kenapa tidak kita menanamkan pemikiran baik pada apapun yang terjadi pada kita? akan lebih baik daripada menanamkan dendam yang nantinya akan menjadi penyakit hati ganas, menggerogoti hati secara perlahan.
Terkadang kebencian yang diberikan orang lain terhadap kita, rasa sakit yang orang lain tanamkan pada hati kita, tidak selamanya buruk dan menciptakan dendam. Bisa jadi, itulah obat untuk kita lebih kuat menghadapi rasa sakit lain dikemudian hari.
Hanya sang tuan dari hati, yang mampu menentukan, apakah menjadi obat atau menjadi penyakit.
Seorang teman bijak saya pernah berkata,
bahwa penderitaan harusnya diterima sebagai kebahagiaan atas pengalaman yang diberikan Tuhan.
Kebahagiaan tanpa rasa sakit adalah kebahagiaan fana. Sebagaimana jarak hidup dan mati, jarak kebahagiaan dan penderitaan pun hanya sejengkal jari manusia.
Bahagia akan kesuksesan sangat dekat dengan penderitaan akan kegagalan,
Bahagia akan rasa memiliki sangat dekat dengan penderitaan akan rasa kehilangan.
Begitu seterusnya.Yang pada akhirnya ada dalam kuasa manusia adalah usaha serta keberaniannya dalam melangkah. Salah-salah dalam melangkah adalah hal yang biasa, karena dalam kesalahan tersebut, kita dapat menemukan obat-obat dalam kesalahan selanjutnya. Dengan banyaknya obat yang dimiliki, manusia akan semakin kuat dan siap dengan penderitaan yang setiap jengkal ia hampiri.
Memelihara dendam dan penyesalan hanya akan memperpendek langkah kita dalam melangkah.
Pada intinya sih,
Siap-siap untuk sakit ya fellas.
Karena sakit pasti menghampiri,
Kapanpun mereka mau.Kuatkan hati,
Sumber vaksin paling kuat
di seluruh jagat raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTRIBUSI PEMIKIRAN
RandomDistribusi Pemikiran adalah program penumpahan isi kepala penulis untuk menghindari kesumpekkan ekosistem media sosial lain yang isinya orang marah-marah. Semata-mata hanya untuk berbagi pandangan. Boleh setuju, boleh juga tidak.