Salju turun lebat malam itu. Hanya dekapan selimut tebal berlapis yang dapat memberi kehangatan. Kayu-kayu bakar di tungku api menjadi pusat panas ruang tengah. Petra berdiri di sana mondar-mandir.
"Grit, badai terlalu lebat," ocehnya dalam telepon.
"Tanpa diberitahu akupun sudah melihatnya." Agrit melapisi tubuh mungilnya dengan selapis mantel.
"Jangan pulang sekarang," larang Petra.
"Aku merindukan cokelat hangat buatanmu, Tra."
"Cokelat hangat tidak sebanding dengan nyawamu." Petra semakin panik.
"Tenanglah. Kita tidak akan bertahan lama di Edinburg jika terus paranoid. Kau tahu? Bahkan kolegaku tidak ada yang menyebut badai salju malam ini." Agrit tersenyum tipis.
"Bergegaslah," balas Petra.
"Sejak kapan kau menjadi posesif?"
"Sejak kepalamu hampir bocor saat tergelincir di halaman rumah kita."
"Tidak akan lagi. Janji."
Sambungan telepon terputus sesaat sebelum Agrit berjalan menuju halte bus. Pikirannya mengawang bebas ke langit penuh rintik salju. Wanita itu mulai menyukai kota ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Malan.
RomancePetra berkelana. Agrit menunggu. Telepati rasa yang bersambung tanpa harus terucap kata.