1. Good Looking is a Must

485 36 49
                                    

Good looking is a must.

Itu standar pacar dari hati semua orang, tentu saja. Walau meski ada tipikal kelompok yang menilai lurus dan berkoar-koar tentang pentingnya sikap don't judge book by the cover—dan memang jika pun ada, maka Camelie akan dengan ramah berpendapat, "Ga usah munafik. Lihat yang bening juga lo melek."

Intinya, first impression itu selalu jatuh di mata dulu. Good looking atau tidak, bakal nentuin posisi pertama lo di hati seseorang. Then, baru diproses mikir di otak, datang asumsi-asumsi penilaian yang memenuhi kepala—tentang gaya busana, sikap, gesture—yang mencerminkan seperti apa diri lo di mata mereka, nah setelah langkah kesekian baru deh jatuh di hati; nyaman apa nggaknya.

Siklus jatuh cinta persis seperti itu.

"Makanya gue nggak percaya sama yang namanya love at the first sight. Kalau ada yang naksir setelah lihat muka doang ... itu bukan cinta, tapi nafsu. Fix bullshit."

Mendengar omongan blak-blakan yang selalu khas dari bibir Camelie—sahabatnya selama lima tahun awet ini—Fanya nyaris terjungkal dari kursi karena tawa hebohnya. Cewek berpakaian stylish dengan gaya busana yang manis itu tidak tahan untuk merasakan wajahnya kaku karena gelak tawa besar.

"Ouch, pipi gue. Duh, capek ketawa, sial." Secara naluri Fanya meraih handphonenya, memastikan wajahnya masih terlihat sempurna di layar kamera.

Camelie melirik bosan, sepiring salad caprese mozzarella dalam piringnya sudah tak memiliki bentuk cantik seperti tatanan penyajian awal, habis diporak-porandakan garpu dalam genggamannya.

"Sumpah, Kamel. Elo itu ya—" Fanya menjeda, matanya melirik pelayan yang datang membawakan segelas milkshake pesanannya ke meja. Dia tersenyum kecil, mengangguk. Mata kembali lurus pada Camelie, "—lo, terlalu ... apa ya? Oh! overthinking. Yah, itu."

Fanya melipat kedua tangannya ke atas meja. Senyumnya mengembang lebar, terlalu lebar hingga Camelie waspada memundurkan punggungnya menyentuh sandaran kursi. Senyum itu ... itu senyum yang mengartikan kalau sebuah gagasan gila kini melintas dalam kepala cewek itu.

"Apa pun itu yang elo pikir, gue ga mau tahu."

"Oh? But, gue pikir lo harus denger." Tanpa menunggu balasan, Fanya terus melanjutkan, "Gini deh, gue seribu persen setuju dengan pernyataan lo. Maksud gue kayak—hello, siapa yang nggak suka liat yang bening-bening gitu, 'kan? Gue aja demen. Semua cewek juga pasti ga nolak kalau disodorin pacar seganteng Kim Taehyung, 'kan? Uhh, gila kalau ada yang nolak! Otaknya pasti nggak beres."

Sebagai tipikal cewek yang kalau udah ngomong susah berhentinya, Fanya masuk golongan bawel yang di mata Camelie sudah kayak kereta api, terlebih kalau nemu bahasan cowok.

"Gue nggak mau bahas something kayak sifat itu most important dan kadang wajah nggak ngewakilin segalanya. Ok, itu nggak salah, tapi bukan berarti semua cowok good looking itu juga buruk, okay," dumel Fanya.

Cewek itu menggeser gelas milkshake, menyeruputnya sejenak untuk membasahi kerongkongannya. "Intinya, yang mau gue bilang, kenapa lo nggak bisa sih ngebuka hati dikittt aja gitu sama seseorang, hm?"

Camelie menusuk tomat di piringnya. Bahunya mengedik tak acuh. "Nggak, tuh. Buktinya, hati gue kebuka ke elo."

"Anjir, maksud gue nggak gitu juga," Fanya mencebik. Rasanya titik kesabarannya teruji tiap ia menarik topik yang sama, tetapi Camelie menolak menjawab.

"Dah ah, mau cabut, gue masih ada kelas siang ini." Camelie berdiri, menarik tali tasnya dan handphone di atas meja.

"Ehhh masih ada setengah jam lebih, kok buru-buru banget?"

What Hold Us TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang