Kenyamanan Yang Salah

29 2 0
                                    

Di pojok ruangan, aku tersenyum saat ku dapati pesan singkat darimu. Dengan cepat aku membalasnya dan larut dalam percakapan yang takkan pernah ku lupakan. Hal ini terjadi disetiap harinya, siang maupun malam.
.
Akan tetapi, hari itu tiba. Hari di mana aku tak lagi mendapati pesan darimu. Aku bingung dan bertanya-tanya. Kenapa ini? Hatiku hampa, sesak rasanya. Tapi aku hanya bisa terdiam dengan bertemankan sepi. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya padamu perihal apa yang sebenarnya terjadi. Kamu bilang tidak ada apa-apa. Mana mungkin aku percaya begitu saja. Aku terus berusaha mencari kebenarannya. Hingga akhirnya, ku dapati kebenaran itu. Pahit rasanya, bagai meneguk segelas racun. Tidak hanya pahit, perih. Perih rasanya. Kenapa kenyataan ini begitu menyayat hati? Kenapa kau menyayatkan belati tajam padaku? Setelah kau menyayatkan belati tajam padaku, kau menyiramnya dengan air garam. Kenapa kau tega sekali?
Kebenaran itu sudah kuduga sebelumnya. Ternyata memang terjadi. Kamu enggan lagi bertukar pesan denganku. Kamu mengakhiri semuanya dengan alasan yang tak bisa ku cerna. Kamu pergi, kemudian menghilang tanpa jejak. Dari awal kamu menyapa, sampai akhirnya kita bertemu, lalu berpisah, semua itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Sesingkat kehadiran senja yang selalu ku nantikan. Tapi, aku tak bisa melupakannya dengan waktu yang sesingkat itu.
.
Kini hari-hariku sepi tanpamu. Tak ada lagi pesan yang membuatku bersemangat di setiap harinya. Tak ada lagi kamu yang menemaniku menantikan fajar di pagi hari, tak ada lagi kamu yang menemaniku menantikan senja di sore hari dan menyambut gelapnya malam. Ingin rasanya aku berlari kencang untuk menghampirimu lalu mendekapmu dengan erat kemudian berbisik, "Aku mencintaimu. Aku rindu padamu. Kembalilah. Jangan pergi. Aku takut sendiri. Tetaplah di sini. Bersamaku." Namun, itu rasanya tidak mungkin. Sungguh, aku merindukanmu. Maafkan aku Tuhan, telah lancang mencintai dan merindukan hamba-Mu sedalam ini.
Ingin rasanya aku mengakhiri semua ini. Tapi, hatiku tetap memilih untuk bertahan. Bertahan di kubangan air garam yang membuat lukanya semakin perih. Bodoh? Memang. Berdiam diri di tengah rasa perih. Sendirian. Tanpa ada yang peduli.
.
Tuhan, bantu aku untuk beralih dari zona ini. Zona kenyamanan yang salah. Bantu aku untuk kembali pada jalan-Mu, jalan yang lurus. Bantu aku untuk bisa bangkit lalu lebih dekat dengan-Mu.
Tuhan, hilangkanlah rasa cinta ini pada orang yang tidak halal bagiku. Tumbuhkanlah rasa cinta ini hanya kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu saja di setiap harinya. Aamiin.

Tulisan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang