1. Tiyah

1.7K 61 1
                                    

Aku menggerutu pelan dan menunduk menatap perempuan yang berjongkok didepanku.

"Kau harus memegangnya. Tidak akan terasa apapun jika kau hanya melihatinya," kataku gemas.

Kulihat dia mengangguk kemudian memegang bagian tubuh bawahku yang sedari tadi hanya dilihatnya.

Dan perempuan itu mengurut nya, pelan.

Dan aku tidak sabaran, menyentuh tangannya dibatangku dan membantunya agar mengerti bagaimana cara membuatku senang.

Aku mendesah, kepalaku menengadah.

Ini lebih nikmat daripada mengurutnya sendiri.

"Ah, Tiyah. Benar, begitu," rancauku saat perempuan di depanku akhirnya mengerti cara mainnya.

---

"Mas, aku akan kepanti nanti malam."

Aku berdeham, mengijinkannya.

"Sebelum jam 11 malam. Kamu sudah harus berada dirumah."

Tanpa aku lihatpun aku tau bahwa dia mengangguk.

"Aku berangkat."

Dan aku mendengar suara kamarku terbuka lalu tertutup.

Aku melihat jam dinding dan masih menunjukkan pukul tujuh pagi.

Sedangkan kantorku baru mulai bekerja pukul sembilan.

Tidur lagi adalah salah satu opsi yang paling nyaman selagi menunggu jam kantor dimulai.

Tiyah, Mutiyah.
Perempuan yang masih berada disemester akhirnya.

Perempuan yang kutemukan sekitar tiga setengah tahun yang lalu.

Sembari terpejam, aku akan mengingat-ingat bagaimana bisa kutemukan perempuan itu.

---

"Bos, eyke kirim file salah satu pantih asuhan yang eyke rekom yes," suara seketarisnya yang jadi-jadian berkumandang.

Aku mengangguk seraya kembali membuka email dari Ipad yang ada di atas meja kerjaku.

Mengangguk puas dengan hasil pencarian si bencong ah maksudku si seketarisku yang bernama bambang.
Tenang penampilan bambang tetap cowok tapi gemulai. Pekerja disini memanggilnya Bimbim.

Kembali lagi kutelusuri gambar panti yang sangat kecil untuk ukuran sebuah panti asuhan.

Ada dua bayi, tujuh balita, dan tiga remaja namun panti tersebut hanya berukuran tiga petak perumahan subsidi.

Meneka tombol interkom dan sekali lagi memastikan si bencong agar menjadwalkan kunjunganku kepanti asuhan tersebut.

Dan disinilah aku melihatnya.

Ketika baru kulangkahkan kaki ku beberapa langkah dari mobil. Menatap remaja perempuan ini yang sedang bermain dikelilingi banyak balita kecil.
Tertawa bahagia lalu menari lincah yang membuat beberapa balita tersebut ikut tertawa senang.

Aku tersenyum dan ketika itu pula dia menyadariku yang sedari tadi menatapnya.

"Aku Tiyah, aku yang paling besar disini," gadis itu tersenyum sopan seraya memberikan tangannya untuk kusalami.

"Adrian."

Lalu dia berlari kembali menuju balita-balita tadi yang seperti menunggunya melanjutkan permainan.

---

Jadwalku semakin padat untuk perusahaan yang baru tiga taun kubangun ini sangat berkembang.

Aku bisa kembali kepanti itu enam bulan setelah perkenalan pertama kami.

Aku masih mengingat saat itu dia hanya duduk termenung didepan pagar panti.

Setalah menyuruh Bimbim untuk mengurus keperluar didalam terlebih dahulu aku berjalan menghampirinya.

"Kamu bersedih," ucapku begitu berada didepannya.

"Aku ingin kuliah tetapi ibu panti tidak punya biaya besar karena harus menyekolahkan adik-adikku yang lain."

Aku mendengarnya bercerita meskipun aku yakin dia bahkan tidak tau siapa yang menanyainya karena sedari tadi dia hanya menunduk tanpa menatapku dan memainkan tangannya.

"Kamu tidak mendapat beasiswa?" Tanyaku.

"Aku tidak sepintar itu, nilaiku pas-pas an karena aku lebih memilih bermain dengan adik daripada belajar. Apalagi aku seharusnya sudah tidak tinggal dipanti ini karena umurku sudah nyaris 20 tahun," suara sengak seperti orang menahan tangis.

"Kamu ingin kuliah?" Aku mengelus punggungnya yang ikut menunduk itu pelan.

Tanpa menjawabku, dia kembali menangis.

Aku mengangkat tangan berganti mengelus kepalanya.

"Bilang ibu panti kamu mendapat pekerjaan, seminggu lagi saya akan kesini menjemputmu. Bersiaplah."

Dan itu keputusan seorang pemuda berumur 25 tahun dan mampu membuat pemilik kepala yang sedari tadi menunduk itu menengadah  dan dia menatapku tak percaya.

Mata belonya yang berlumur air mata itu sangat memikat.

Dan aku berdeham karena rasanya tengkukku mendadak panas.

"Saya akan membiayai kuliahmu asalkan kamu tinggal ditempat saya," ucapku saat itu yang bahkan aku pun sendiri tidak percaya dengan yang kuucapkan.

Mata cantik itu mengerjab pelan, tangan yang sedari tadi ditautkannya perlahan terlepas untuk menghapus air mata. Bibirnya mendadak tersenyum sangat cerah seakan hari itu dia begitu bahagia yang mendadak membuat hati ku ikut menghangat.

Perempuan didepannya ini kelak pasti akan dengan mudah mempengaruhi moodnya.

"Tiyah, ingat perkataan saya barusan."

Lalu aku meninggalkannya saat kulihat Bimbim sudah berada didekat mobil. Mengawasiku dengan mata pria genitnya.

---

Lalu seminggu tepat yang aku janjikan, aku mengirim supirku untuk menjemputnya, menaruhnya dirumahku, mendaftarkannya kuliah di tempat yang dia inginkan.

Tepat setahun berlalu dengan cepat saat itu, aku yang sering bepergian karena perusahaan yang makin hari makin berkembang jarang sekali bisa menemuinya meskipun kami tinggal serumah.

Hari itu, hari sialan itu adalah hari ulang tahunku. Dia menemukanku dipagi hari diatas ranjangku dengan tanpa pakaian bawah dan tentunya tanganku yang berada tepat pada kejantanan ku. Dan dengan lilin yang menyala diatas cake Chocolate yang aku yakini adalah buatan tangannya sendiri terjatuh tepat didepan pintu sebelum sempat aku tiup lilinnya.

Hari sialan itu, bagaimana bisa aku melupakan hari ulang tahunku sendiri dan malah melakukan olahraga jari tanpa takut diatas ranjang.

---

Tbc

Ngga sabar mau update, emang aku itu gini guys, selama udah selesai nulis pasti langsung aku pos.

Aku bukannya sengaja lelet lelet in😭

Apalagi cerita sebelah yang belum tamat. Itu murni karena aku bingung mau digimanain alurnya😔

Ups, bagaimana  perasaan Ian setelah itu ya? baru juga bisa temu setelah sekian lama malah ketemunya disaat yg ngga tepat😂

Follow Instagram baru @Mandhelafam

Adrian Mandhela Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang