1

19 2 0
                                    


Pagi seperti masih seperti biasa, lengkap dengan mataharinya yang mencuat dibalik korden biru muda itu. Lengkap pula dengan kasur bersprei putih corak bunga warna merah muda yang pemiliknya masih bersembunyi di balik selimut tebal. Matahari sempurna masuk melalui kedua jendela kamar berukuran 5x6 itu. Jendela lebar yang terdiri dari dua bagian di buka pengaitnya sehingga tidak hanya angin yang masuk namun juga angin semilir khas laut. Suara debur ombak terdengar dari balik pepohonan di belakang rumah. Terdengar pula suara anak kecil yang sudah mulai tertawa dan bermain-main dengan pasir pantai. Pemilik kasur bersprei putih corak bunga warna merah muda itu masih meringkuk dibalik selimutnya, Ia terlalu bosan dengan air laut dan juga udara pagi, alergi katanya. Seorang yang tak bertanggung jawab membuka jendela dan korden-korden itu menyeret kaki si pemilik kasur hingga jatuh tersungkur di karpet bulu berwarna cream. Lantas dengan amarahnya dan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya pemiliki kasur itu mengejar pembuka korden mengelilingi kamar yang terbilang cukup luas. Pemilik kasur melempar apa saja yang ada dihadapannya, baju, boneka, buku, bantal, bertebaran di lantai kamar. Sementara si pembuka korden hanya lari-lari melewati sofa, karpet, dan rak-rak buku di dalam kamar dengan tawanya yang jahil.

"Kau akan bertanggung jawab dengan semua kerusuhan ini, Niana!" teriak saudaranya yang masih terus berlari keluar kamar dengan senyum jahil.

Ia menuruni anak tangga dengan melompat antara dua anak tangga dan melesat ke dapur tempat favorit ibu mereka biasa memasak.

"Ibu!! Niana membuat kamar berantakan! Jangan suruh Bi Pan untuk membersihkannya biar dia sendiri." Lapor saudaranya itu.

Niana, si pemilik kasur itu turun tergesa-gesa hampir saja Ia tergelincir anak tangga yang curam itu. Ia belari ke dapur, tempat dimana kakak perempuannya melaporkan kelakuan adiknya pada ibu mereka. "Ibu! Jangan percaya Giandra! Dia yang jahil membangunkanku dengan menarik kedua kakiku, jatuhlah aku tersungkur di lantai." Lapor Niana dengan wajah merah dan mata sayu karena masih mengantuk. Giandra yang dilaporkan hanya tertawa, "Siapa suruh bangun siang." Tambahnya. Niana hanya mendengus kesal lalu kembali terdiam. Seperti biasa, ibunya tetap tersenyum tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Niana dan Giandra perpandangan dan tersenyum kecut.

Giandra menyalakan kompor dan mulai menambahkan mentega diatas pan. "Kau mau roti?" tawarnya. Niana hanya diam. Giandra kemudian memasukkan telur yang telah di bumbui kedalam pan dan memanggang roti. Lantas Giandra meletakkannya di piring.

"Apapun yang terjadi kau harus makan, sampai dunia ini berakhirpun kau harus makan." Giandra meletakkan piring itu dengan agak kasar di meja depan Niana duduk. Niana hanya menatap roti isi telur itu dengan malas.

"Makan atau aku melemparmu ke Laut?" ancam Giandra. Niana tersenyum kecut, Ia tak suka ke Laut, masih malas dengan air laut katanya. Apalagi dengan udara sedingin itu, Ia tahu bahwa ancaman Gian bukan sekedar ancaman ikan teri saja. Melaikan Gian akan benar-benar menyeretnya kelaut dengan gerobak semen dan melemparnya hingga Niana basah nanti, dan Niana tak mau mengambil resiko sebesar itu. Ia segera melahap roti isi dengan pinggiran agak gosong itu. Sementara ibu mereka hanya menatap kelakukan kedua anaknya dengan senyum yang selalu mengembang diwajahnya.

Pagi-pagi yang ramai seperti biasanya juga dan berulang setiap hari. Paling-paling hanya pertengkaran kedua kakak beradik itu urusan makan pagi dan bangun pagi. Atau pertengkaran mereka soal berebut kesempatan atau berebut apapun yang hanya satu dan mereka tak mau berbagi, kadang hal ini juga berujung pada Niana yang menang atau Giandra yang menang. Mereka adalah dua orang dengan sifat hampir mirip, bedanya Giandra terkenal lebih keras wataknya dan Niana lebih pemalas darinya.

Pagi mulai menyingsing, Giandra telah siap dengan baju rapinya dan rambut yang terikat serta laptopnya yang sudah menyala sedari malam. Setelah meletakkan beberapa catatan dan buku materi di sebelahnya Ia memulai perkuliahan secara daring (dalam jaringan) seperti dua tahun terakhir. Dosen biopsikologi itu menjelaskan hubungan antara neuron, otak, dengan kepribadian manusia. Giandra baru saja menyeduh kopi dan menyeruputnya di tengah perkuliahan online ini. Dia selalu mengantuk di pagi hari, makanya Ia selalu membuat kopi untuk menemani paginya daripada terlewat begitu saja. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh sesekali melontarkan satu dua pertanyaan pada dosen atau adu argumen dengan temannya yang lain. Sementara teman satu kelas yang tidak pernah bertemu itu tampak sibuk sendiri-sendiri dengan kegiatan mereka, seperti mencatat, membaca, mendengarkan musik, bahkan meninggalkan kelas, atau tidur-tiduran di kasur. Gian dapat melihat mereka satu persatu dari layar monitor yang menyala karena dosen mereka mewajibkan mahasiswanya menyalakan kamera saat melakukan kuliah online. Tapi sungguh, Giandrapun menyadari bahwa sistem perkuliahan yang sudah dijalani dua tahun terakhir sungguh sangat tidak efektif. Ia tak pernah tau bentuk wajah asli dan sikap serta sifat asli teman sekelasnya itu seperti apa. Ia hanya bisa berkomunikasi menggunakan media sosial yang kini sudah naik daun apapun platformnya. Giandrapun mulai ragu mengapa Ia mengambil jurusan Psikologi pada dua tahun lalu sedangkan saat ini pertemuan dibatasi, tidak bisa sembarang bertemu manusia dari bermacam suku, etnis, negara, bahkan agama seperti dua tahun yang lalu. Giandra pun paham betul ilmu yang Ia pelajari membutuhkan interaksi antar manusia, namun apabila interaksinya terbatas chat dan telepon saja tidak akan efektif untuk melakukan terapi, jadinya nanti klien hanya akan diberi penguatan untuk melakukan terapi mandiri. Sepertinya ilmu itu akan berkurang keguanaannya, pikir Giandra. Namun itu tidak menghentikan niatnya untuk mempelajari ilmu yang sudah didambakannya sejak dahulu.

Senandika [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang