3

6 1 0
                                    

Setahun lalu, Giandra berusaha mengeluarkan ingatan di dalam otaknya tentang pagi yang tak seperti biasanya saat ibu mereka pulang dengan baju berlumuran darah. Giandra dan Niana berhambur panik dan mendekat ke ibunya. Namun ibu mereka menolaknya dan segera ke kamar mandi untuk mencuci baju itu, "Setelah ini ibu jelaskan, tenanglah ini bukan darah ibu." Mendengar kata-kata itu mereka berdua bisa bernafas lega. Ibu meletakkan belanjaan yang sudah di semprot cairan anti virus diatas meja makan. Saat itu pemerintah belum memberikan bantuan kotak sembako, makanya beberapa orang masih saja keluar rumah dengan alasan membeli persediaan rumah padahal itu hanya alibi mereka untuk jalan-jalan.

Malam hari setelah ibunya melakukan kegiatan cuci mencuci mereka berkumpul di ruang tamu, seperti biasa. "Tadi ada seorang nenek tertabrak mobil, dia hendak menyebrang ketika membawa belanjaan dari pasar. Lalu ibu membawanya ke Rumah Sakit terdekat, jadi ini darah nenek itu. Ibu kalian tidak kenapa-kenapa." Ujarnya sambil tersenyum. Kedua anak gadisnya saling memandang kemudian berhambur memeluk ibunya. Kemudian ibunya mulai bercerita tentang orang-orang yang masih saja keras kepala tidak mau mengisolasi dirinya di rumah padahal banyak virus bertebaran menunggu inang untuk di masuki. "Orang-orang ini sudah bosan dirumah, makanya mereka keluar untuk jalan-jalan, padahal mereka tidak sadar bahwa bahaya mengintai mereka. Aku jika tidak untuk membeli bahan makanan tak akan pula keluar rumah." Ujar ibunya sambil menekan tombol-tombol remote TV yang menampilkan berita terkini dunia. "Kalian jika di dalam rumah jangan lupa kunci pintu dan jangan lupa pula pasang grendel itu. Walaupun tampak kuno dan konyol itu adalah salah satu cara menjaga kalian dari pada perusuh." Lanjut ibunya ketika layar TV menampilkan berita tentang orang-orang yang berusaha menerobos rumah warga lain hanya untuk meminta makanan atau merampok apa saja untuk kemudia di jual kembali. Para warga ekonomi kelas bawah yang sudah tak memiliki pekerjaan dan uang berkoalisi untuk membuat kerusuhan dengan menerobos masuk kerumah warga kelas menengah yang lain. Mereka memang butuh uang dan makanan untuk bertahan hidup, jika tidak mereka akan mudah mati, dan pemerintah tidak mempedulikan hal itu awalnya. Dalam setahunan pertama dari hari dimana virus itu di temukan sudah hampir 200 ribu lebih masyarakat yang meninggal pun diiringi dengan turunnya nilai mata uang dan banyak sektor ekonomi yang mengalamai kebangkrutkan. Tentu saja itu juga membuat banyak pekerja yang di PHK secara sepihak. Dalam kondisi panceklik ini manusia mulai kehilangan akal sehatnya, semua orang berebut untuk dapat bertahan hidup. Bahkan tak jarang rela menyakiti manusia lain untuk memuaskan kebutuhan mereka. Sisi hewani manusianya terlihat dalam kondisi tertekan macam ini. Hanya orang-orang berakal sehat yang tetap tenang di dalam rumah melindungi dirinya dari virus dan manusia yang sudah mulai menggila.

Seminggu kemudian setelah kejadian tabrakan nenek itu, sebuah mobil ambulan diiringi mobil polisi dan petugas berbaju putih lengkap dengan kacamata bening dan masker tiba di depan rumah mereka. Tetangga sekitaran rumah tak berani keluar tapi semua tahu bahwa mereka menyaksikan kedatangan petugas kesehatan lengkap dengan ADP itu dari balik jendela dan korden-korden mereka. Petugas itu mengatakan bahwa nenek yang di tolong ibu mereka seminggu lalu dinyatakan positif virus. Tentu saja pada akhirnya ibu mereka dianggap sebagai ODP (Orang Dalam Pantauan) dan harus di bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut dan karantina di rumah sakit, termasuk Giandra dan Niana karena sudah melakukan kontak fisik dengan ibu mereka. Saat itu pengecekan apakah seseorang terkena virus atau tidak berlangsung sangat amat lama sehingga dianggap percuma karena virusnya sudah terlanjur akan menyebar dalam waktu-waktu sebelum hasil tes keluar, sungguh sangat tidak efektif.

Mereka bertiga segera di larikan ke rumah sakit dan diberikan beberapa tes. Namun nasib ternyata tidak berpihak pada ibu mereka, hanya ibunya seorang yang dinyatakan positif sedangkan mereka berdua hanya masuk dalam tahap ODP dan tetap harus menjalani karantian mandiri. Akhirnya mereka berdua di pulangkan namun ibu mereka harus di karantina di rumah sakit. Mereka tak pernah memeluknya lagi sejak malam itu.

Tak sampai dua minggu tanpa kabar, ibunya dinyatakan meninggal dunia karena penyakit bawaan yang dipicu lagi oleh adanya virus tersebut. Dalam ingatan Giandra sangat terpukul saat mendengar berita kematian ibunya. Tentu saja diantara kedua saudara itu, Gian adalah yang paling dekat dengan ibu mereka. Jasad ibu mereka di bakar dan abunya di letakkan di dalam guci berwarna coklat yang dipulangkan oleh petugas medis berADP lengkap. Setelah menyemprotkan cairan anti virus mereka meletakkan guci itu di rak antara meja makan dan dapur. Giandra mulai mengingat semua kejadian itu satu demi satu yang masuk menjubel ingatannya begitu saja. Ia menoleh pada foto ibu mereka yang tersenyum tetap disebelah guci yang sering di peluknya itu.

"Aku ingat..." ucap Giandra lirih kemudian menangis sejadi-jadinya, tangisan yang tak pernah terdengar sejak setahun yang lalu tak kala Ia di putuskan pacarnya secara sepihak karena merasa bosan tak pernah bertemu, dia ingat hari itu ibunya memeluknya dan berkata bahwa biarkan dia yang ingin pergi berarti memang dia bukan untukmu, kata ibunya waktu itu.

Bahkan di hari kematian ibunya Giandra yang sangat terpukul sampai air matapun tak pernah jatuh di kedua matanya. "Kenapa selama ini kau diam saja Niana?" tanya Giandra lirih.

"Aku pikir kau sudah tau dan hanya tak mau tau saja.." Niana memeluk saudara perempuannya itu.

"Aku hanya mengikuti permainanmu Giandra. Termasuk soal ayah yang mengirim pesan itu." Giandra terdiam atas pernyataan saudaranya.

"Maksudmu?"

"Ayah tak pernah mengirimkanmu pesan Giandra, aku hanya mengikuti permainanmu menunggu di depan laptop yang menyala percuma. Ayah tak pernah mengimkanmu pesan hari itu, itu hanya pesan setahun lalu ketika ibu di nyatakan positif." Giandra segera mengecek lagi pesan di ponselnya, benar, pesan itu dikirim setahun lalu di tanggal yang sama.

"... lalu surat itu?"

Niana diam kemudian menggeleng. Giandra kembali menangis sejadi-jadinya tersungkur di lantai.

Tiba-tiba pintu di ketuk beberapa kali, Giandra segera melepaskan pelukan saudaranya dan membuka kunci gerendel pada pintu mereka dan mundur beberapa langkah. Kemudian manusia yang mengetuk pintu tadi membuka pintu itu perlahan. Terlihat seorang pria paruh baya dengan rambut acak-acakan dan kumis diantara mulut dan hidungnya yang mancung. Matanya sayu namun penuh binar. Walaupun sosok itu sudah lama tak di temuinya, mereka yakin betul mengenal sosok itu dua tahun lalu sebelum semua hal ini terjadi.

Ayah pulang.

Senandika [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang