2

7 1 0
                                    

Mereka membuka surat itu dengan hati-hati tampak tulisan yang mereka kenal dua tahun yang lali. Tulisan latin miring yang susah terbaca kalau mereka tidak paham betul, tulisan itu sering mereka lihat di ruang kerja ayahnya terselip diantara surat-surat hasil tulisan yang di print atau desain-desain bangunan dia meja kerja ayah mereka.

Timur, 3 September 2022

Mereka saling pandang, "Tanggal berapa ini?" tanya Niana, Giandra segera melihat ponselnya "24". Bagaimana surat 3 minggu lalu bisa sampai di depan rumahnya seperti ini?, batin Niana.

Ini ayah, kau tau kan? Jangan bilang kalian lupa tulisanku sejak dua tahun lalu. Ayah akan pulang.

Kalimat singkat itu membuat kedua gadis itu menelan ludah dan menanti sebuah harapan yang selama ini dinantikan. Kemudian mereka membaca kelanjutannya.

Tapi proses pulang ini tak akan mudah. Ayah melihat ada cara pulang dengan ikut bersama tukang pos pengantar surat, tentu saja dengan membayar mahal pada tukang-tukang pos itu untuk menampung ayah. Kurasa aku menemukan cara ini sudah sejak beberapa bulan lalu, namun pekerjaanku yang sangat banyak membuatku harus bertahan disini dan menyelesaikan semuanya. Namun sekarang ayah sudah hampir menyelesaikan semuanya.

Minggu depan aku akan pulang, namun sayangnya pejalanan itu tak akan mudah, butuh waktu beberapa hari karena harus melalui proses ini dan itu karena penerbangan dan pelayaran di tutup untuk umum. Anggap saja ayah kalian akan melewati jalur gelap. Aku tak bisa menejalaskan ini di chat, karena pasti akan membuat kalian berharap terlalu banyak.

Melalui surat ini aku sekaligus melakukan percobaan berapa lama surat ini akan sampai ke rumah kita, juga apakah surat ini akan sampai atau tidak. Jika surat ini sampai kalian boleh berharap bahwa ayah kalian juga akan tiba di rumah meski bukan dalam waktu dekat. Aku akan menghubungi kalian dalam waktu dekat dan menjelaskan masalah ini, aku harap suratnya sudah sampai sebelum itu. Jaga diri ya, kalian anak-anak hebat.

Ganjar Permana.

Surat itu berakhir begitu saja dengan nama ayah mereka pada bagian akhir surat. Mereka berbandangan kemudian saling berpelukan, "Kita masih ada harapan Ni" ujar Giandra sambil menyeka air mata. Niana hanya terdiam, surat itu belum menjawab pertanyaan mengapa ayah mereka tidak pernah menghubungi mereka.

Hari demi hari mereka yang pada awalnya tidak mempunyai harapan hidup memiliki secerca cahaya untuk bertahan dalam kondisi sulit ini. Mereka terus menunggu dan menunggu kepulangan ayah mereka. Tak ada kabar sejak satu bulan yang lalu, hari dimana surat itu sampai di depan pintu rumah mereka. Hari mulai berjalan melambat seperti sediakala sebelum surat itu datang. Tanpa semangat, tanpa harapan, dan hidup hanya untuk bertahan tanpa tujuan.

Niana kembali dengan lukisan warna terangnya, padahal sebelumnya Ia telah kembali melukis dengan warna yang agak gelap. Sementara Giandra selain sibuk melakukan kuliah online dia juga tetap mengurusi semua kebutuhan rumah tangga, seperti memasak, mengambil kotak-kotak sembako yang selalu di tinggalkan di depan rumah mereka, juga membersihkan beberapa sudut rumah. Pemerintah berbaik hati dengan memberikan bantuan sembako pada masyarakatnya dengan cara meletakkan kotak sembako itu di pintu-pintu rumah. Kotak sembako yang berisi roti, beras, sayur segar, frozen food, air, dan beberapa susu itu terbungkus rapi. Dua hari sekali di pagi hari Giandra akan membuka pintu rumah dan mengambil kotak itu, dengan catatan sebelumnya akan dia semprot cairan khusus untuk membunuh virus tentu saja. Kemudian dia akan kembali mengunci pintu mereka dengan gerendelan pintu dengan desain kuno itu.

Empat bulan berlalu, 2022 sudah sampai di penghujung tahun namun tak ada kabar dari ayah mereka. Tak ada sepucuk surat terselip di pintu rumah, pun tak ada pesan atau telepon masuk dari ayah mereka. Berulang kali Giandra mencoba menghubungi nomer ayahnya namun tak ada jawaban. Ayah mereka seakan hilang begitu saja. Sementara ibunya tetap tersenyum, senyumnya selalu berhasil menguatkan anak-anaknya untuk tetap bertahan dalam kondisi tersulit sekalipun. Termasuk Giandra yang selalu menyempatkan untuk sekedar memeluk ibunya itu, menyapanya atau bahkan melaporkan adiknya yang sulit bangun pagi.

Pagi-pagi membosankan lagi, Niana seperti biasa masih meringkuk dibalik selimut tebal dengan laptop masih menyala. Seperti biasa pula Giandra membangunkannya dengan menggulingkan gadis berambut hitam itu hingga jatuh tersungkur ke karpet berbulu. Dan dimulailah pertengkaran pagi itu, seperti biasanya yang terjadi berulang-ulang.

"Ibu! Niana selalu saja tak pernah bisa bangun pagi aku kesal melihatnya!" adu Giandra pada ibunya sembari memasak sayur di dapur. Niana tak seperti biasa yang turun tergesa-gesa dari kamarnya, kali ini dia turun dengan langkah yang lebih tenang dari biasanya.

"Giandra, tidakkah kau lelah? Aku sudah capek mengikuti kemana arah permainanmu berjalan. Aku selalu mengiyakan semua perkataanmu tanpa terkecuali. Termasuk permainan bodohmu yang membuatku semakin terpuruk." Kata Niana dengan wajah datar, kata-katanya mulai menusuk.

"Apa maksudmu?" tanya Giandra.

"Jangan pura-pura bodoh! Aku lelah dengan semua ini Giandra!" Niana mulai berteriak.

"Kau tau kenapa aku selalu mewarnai lukisanku dengan warna terang?" Giandra menggeleng.

"Karena mereka satu-satunya tempat dimana aku bisa melampiaskan rasa bahagiaku, hidupku penuh kelabu Giandra. Jangan sampai lukisankupun ikut menjadi kelabu." Giandra mematikan kompor dan melirik kearah ibunya.

"Dan kau!" Niana beteriak

"..dan kau.." lidahnya tercekat, air matanya mulai keluar.

"Dan kau masih saja terjebak dalam dongeng bodohmu, seakan ibu masih ada!" tangis Niana pecah, Giandra segera memeluk adiknya yang tersungkur di lantai.

"Jangan bercanda Niana! Ibu disini! Dia selalu menemaniku memasak di dapur!" Giandra mulai berteriak.

"Kau tak ingat apapun?" tanya Niana sambil menyeka air matanya.

"Ingat apa?.." Giandra menurunkan nadanya. "Setahun lalu..." Niana tak sanggup meneruskan kalimatnya.

Giandra terdiam, otaknya mulai mencerna semua memori yang masuk menjubel begitu saja tanpa permisi. Ia mulai mengingat beberapa memori yang dilupakannya setahun terakhir. Kenangan yang selama setahunan ini tidak ada dalam sejarah ingatannya.

......

Senandika [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang