Sepasang Sandal
Pada sepasang sandal aku berbisik. Bagaimana caranya agar bisa terus sejalan? Bisa terus bersama? Tanpa pernah takut salah satunya berlari ke arah yang berbeda. Jawabannya mencubit batinku.
Sedekat apapun, seerat apapun, jikalau tidak memiliki tujuan dan visi yang sama, tidak akan bisa berjalan seirama. Memaksa menyatukan dua arah mata angin, tidak akan membuat keduanya saling bertiup kearah yang sama. Yang ada hanya akan berujung dalam kehancuran belaka. Menyatukan dua hati yang berbeda, tidak semudah ucapan saling jatuh cinta. Terkadang kita terlalu memaksa, sampai tak sadar ada hati yang terluka.
Lalu aku harus apa? Deraian kata-kata dari sepasang sandal itu membuatku jatuh ke peraduan. Saling melengkapi. Ya, seperti sepasang sandal, kanan dan kiri. Kamu tahu, mengapa banyak diluar sana yang tidak bisa bersatu? Mereka lupa, bahwa tugas kita bukan menyatukan, tapi saling melengkapi kekurangan.
Hanya itu? Lalu sepasang sandal itu jawab dengan kompaknya. Saling menyadari, bahwa kau tak bisa berjalan sendiri. Tak akan ada kata "kita", kalau kamu saja masih mengedepankan ego semata. Kamu harus sadar, tanpa ada aku dan kamu, maka tak ada kita.
Aku tak ingin memilikimu, karena ku tahu, kamu itu milik Tuhan. Aku hanya ingin melangkah ke depan bersamamu, saling melengkapi segala kekurangan, kelemahan, dan menyelesaikan problematika yang akan kita temui di pertengahan jalan, lalu sampai di garis finish setelah penantian panjang.
Lalu aku akan sadar. Aku tak bisa berjalan sendiri. Aku butuh kamu, dan kamu butuh aku. Kita sama-sama berperan menyelesaikan setiap adegan dalam drama. Hingga semesta membisikkan kedua telingaku. Kamu ditakdirkan bersamanya.
Sekarang aku hanya butuh rehat sejenak, lalu duduk disampingmu, dan kusampaikan pertanyaan padamu. Yang manis tapi bukan permen. Yang lembut tapi bukan sutra. Tebak, apa itu?
Ya, senyumanmu. Bantu aku. Aku yang akan menulis dan kamu yang tersenyum manis. Ditemani secangkir kopi, pena dan otak ku akan kembali berlaga. Menuliskan segala manisnya tentangmu.
— Langit
***
Setelah pamit dengan Ibu, Langit menghampiri rumah Kiran yang jaraknya hanya sepuluh langkah. Menaiki motor tua kesayangannya dengan ransel drawstring bag yang menumpu di punggung. Sepatu sneakers casual hitam terpasang dikedua kakinya. Juga helm batok penuh tempelan stiker yang memberikan kesan klasik, namun penuh pernak pernik. Alasannya klise, supaya tidak tertukar.
"Assalamualaikum. Kiran... Kiran..." Langit menghentikan motornya tepat di depan rumah Kiran.
Terlihat Mbok Inem sedang menyapu halaman. Beraksi dengan sapu ditangan kanan, pengki ditangan kiri, dan jodoh ditangan Tuhan. Membersihkan dedaunan kering yang berjatuhan, menggusur debu-debu yang bertebaran.
"Pagi Mbok Inem."
"Pagi juga, Den Langit. Tunggu sebentar, Mbok panggilkan dulu, Non Kirannya," jawabnya dengan penuh kelembutan yang khas.
Mbok Inem beranjak masuk seiring teriakannya memanggil Kiran yang terdengar hingga keluar.
Wanita tua yang sudah mulai berkeriput itu adalah pembantu di rumah Kiran. Bukan hanya sekadar pembantu, tapi juga teman bagi Kiran ketika di rumah. Bahkan sudah seperti dianggap keluarga sendiri. Mbok Inem lah yang selalu menemani Kiran sedari kecil semenjak tiba di Kota, sampai beranjak remaja sekarang. Ia cukup dekat dengan Langit. Ingatannya tak akan pernah melupakan kebaikan lelaki sederhana itu.
Nih, Langit bawa jamu buat Mbok Inem, untuk menghilangkan pegal-pegal.
Mana lagi yang harus disapu Mbok?
Masakan Mbok memang paling top dah. Tapi kedua, setelah Ibuku.Seringkali Langit curhat dan bercanda dengan Mbok Inem. Sambil menunggu Kiran yang kalau dandan lamanya minta ampun. Bayangan Mbok Inem selalu menghampiri tatkala dirinya berpesan.
Temani terus Non, Kiran. Buat dia bahagia. Kasian, Non Kiran, suka kesepian dirumah. Apalagi Ibu sama Bapak suka berantem. Dia sering menangis Den, dikamar.
"Mah, Kiran sama Langit berangkat dulu ya."
"Iya, belajar yang rajin. Hati-hati ya Lang. Jangan ngebut-ngebut."
"Siap tante. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Banyak orang-orang yang berasumsi. Kata mereka, tidak ada persahabatan yang murni diantara seorang lelaki dan seorang perempuan. Pasti terselip secercah rasa diantara salah satunya. Ya, rasa itu. Andai asumsi itu benar, maka Langit adalah orang pertama yang akan menyatakan kepada Kiran bahwa dirinya ingin lebih dari sekadar sahabat. Entahlah, sampai saat ini aku yakin rasa itu masih belum ada.
"Kalian itu sebenarnya apa sih. Gebetan? Teman dekat? Atau pacar?" Salah seorang temannya yang juga merupakan penghuni kelas disudut koridor itu penasaran. Ia tahu betul bagaimana kedekatan Langit dengan Kiran melalui mata kepalanya sendiri.
"Kami teman sedari kecil, Du. Gue udah anggap dia sebagai sahabat, nggak lebih."
Pandu, pria berambut ikal itu tertawa meringis. Seolah tidak percaya terhadap apa yang dikatakan teman sebangkunya itu.
"Zaman sekarang mana ada si Lang, sahabatan sedekat itu."
"Ada. Gue sama Kiran." Langit menyahut dengan cepat pernyataan Pandu itu. Ia tahu, Pandu termasuk salah satu manusia yang percaya asumsi yang dikatakan orang-orang itu.
"Lo yakin nggak ada rasa sama Kiran?"
Langit menggelengkan kepalanya, sambil membalikkan halaman selanjutnya pada sebuah buku yang sedang dibaca.
"Serius lo? Jangan sampai menyesal nantinya. Lagian cewek kayak Kiran sudah pasti banyak yang suka. Apalagi dia cantik, manis pula. Gue juga mau kali sama dia hahahaa..."
Konon, persahabatan antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang sudah terjalin lama sedari kecil, akan pupus ketika masa SMA. Penyebabnya bukan karena suatu masalah yang rumit, melainkan karena persoalan yang sederhana. Sangat sederhana. Tak bisa terpikirkan oleh akal. Tak bisa dijelaskan oleh logika. Perasaan.
Kemungkinannya ada dua. Sahabat kamu yang semakin menjauh, musabab sudah milik orang lain. Atau persahabatan yang terbawa perasaan. Untungnya Langit memandang itu semua hanya sebatas "kata orang" saja. Baginya, bisa mengenal Kiran saja, sudah cukup. Apalagi menjadi sahabatnya, itu sudah lebih dari cukup.
Langit tidak pernah berpikir jauh untuk lebih dari itu. Ia merasa sudah nyaman. Meskipun ia tidak tahu, sampai kapan rasa nyaman ini akan bertahan dan sampai kapan kata cukup itu tertahan.
Ia memiliki prinsip. Selagi masih dekat, tidak perlu terlalu menjerat. Selagi masih baik, tidak perlu terlalu diusik. Soal perasaan memang tak bisa dibohongi, tapi soal kedekatan, apakah harus saling memiliki? Jalani saja, apapun statusnya. Biarkan detik terus berdetik. Karena yang terpenting bukan status, tapi
komitmen yang terus-menerus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan Dari Langit
Teen FictionLangit, seorang remaja introvert yang suka menyendiri. Ia mempunyai seorang sahabat sedari kecil bernama Kiran. Persahabatan mereka berlanjut hingga masa SMA. Hingga akhirnya ada "rasa" yang tumbuh diantara mereka berdua.